LIMA SEKAWAN MENAKLUKKAN AGEN RAHASIA Petualangan baru Lima Sekawan by Enid Blyton diceritakan oleh Claude Voilier ilustrasi oleh Jean Sidobre Edit by : zheraf http://www.zheraf.net Daftar Isi: 1. Berkumpul kembali 2. Anak Misterius 3. Rencana Pesta 4. Siapa itu? 5. Orang Asing 6. Perundingan Rahasia 7. George Berjasa 8. Persiapan Pesta 9. Di Hotel Winter 10. Lima Sekawan Beraksi 11. Rudi Beraksi 12. Saat-saat Tegang 13. Tertipu 14. George Gagal Menelepon 15. Kecelakaan Aneh 16. Ke Jenewa 17. Ke Sarang Musuh 18. Penyergapan Bab I BERKUMPUL KEMBALI "Ah, Tim - aku sudah tidak sabar lagi menunggu," keluh George dengan sikap gelisah. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan ketiga sepupuku itu. Tapi sebentar lagi mereka pasti akan sampai. Setelah itu kita akan bisa bersama-sama menikmati liburan. Kau senang juga kan, bertemu kembali dengan mereka?" "Guk!" gonggong Timmy sambil mengibaskan ekor, tanda bahwa ia pun ikut senang. Timmy sangat menyayangi tuannya, sama seperti kesayangan George padanya. Ke mana pun anak itu pergi, Timmy selalu ikut. George bukan anak laki-laki. Ia anak perempuan. Namanya yang asli Georgina - tapi kalau disapa dengan nama itu, ia pasti takkan mau menjawab. Ia ingin sekali bisa seperti kedua saudara sepupunya, Julian dan Dick. Potongannya memang mirip anak laki-laki, dengan rambutnya yang pendek. Ia paling tidak bisa disuruh tenang. Ada-ada saja yang dilakukannya. Akalnya dan tingkah-lakunya selalu macam-macam, sampai kadang-kadang sudah bisa dibilang sembrono, atau bahkan nekat. Tapi hatinya baik. Lagipula ia selalu jujur. Karenanya ia disenangi, walau sering keras kepala dan tidak suka mengalah. George itu anak asrama. Jadi selama bersekolah tinggalnya bersama teman-teman sesama murid di asrama yang termasuk kompleks sekolah. Asramanya itu di kota lain, yang jauh letaknya. Karena itu George selalu senang apabila sudah saatnya pulang untuk berlibur. Di Pondok Kirrin ia merasa dirinya merdeka, bisa berjingkrak-jingkrak dan bersenang-senang sepuas hati. Julian, Dick dan Anne, ketiga sepupunya, kalau liburan juga selalu datang ke rumah orang tua George yang terletak di tepi laut. Mereka sudah merencanakan beraneka ragam kegiatan selama liburan itu. Beberapa waktu yang lampau mereka berempat mendirikan sebuah klub yang diberi nama "Lima Sekawan", karena Timmy ikut dihitung sebagai anggota. Dalam liburan-liburan yang lewat mereka sudah berkali-kali berhasil membongkar berbagai rahasia menarik serta melacak jejak kejahatan yang menegangkan. Di samping itu mereka gemar berolahraga dan melakukan berbagai permainan yang dilakukan di tengah alam bebas. "Ah, Tim," desah George sekali lagi sambil menghampiri pintu gerbang pekarangan. "Mestinya Julian, Dick dan Anne setiap saat akan sampai di sini. Kereta yang mereka tumpangi sudah tiba kira-kira seperempat jam yang lalu. Lalu mencari taksi dan dengannya berangkat kemari .. Nah! Kalau aku tidak salah dengar, itu kan bunyi mobil datang!" George tidak salah dengar, karena saat itu ada mobil muncul dari balik tikungan. Mobil itu semakin mendekat dan akhirnya berhenti di depan gerbang. "Nah, datang juga kalian akhirnya!" seru George dengan gembira. "Sekarang Lima Sekawan sudah lengkap kembali. Hidup liburan!" Seorang anak laki-laki yang sudah remaja turun dari mobil taksi itu. Tubuhnya tinggi tegap, sedang rambutnya berwarna pirang. Ia disusul oleh seorang anak perempuan yang juga berambut pirang tapi berpotongan kecil mungil, serta seorang anak laki-laki lagi. Julian, Dick dan Anne yang ditunggu-tunggu oleh George dengan perasaan tidak sabar, akhirnya muncul di Pondok Kirrin! Sementara Julian membayar sewa taksi, Dick dan Anne bergegas menyongsong sepupu mereka lalu merangkulnya dengan gembira. Timmy ikut menyambut kedatangan ketiga anak itu. Ia menggonggong dan melonjak-loniak. Sibuk sekali kelihatannya! "Asyik, bisa melihat segala-galanya lagi! Pondok Kirrin, pantai dan laut yang terbentang luas - serta pulaumu, George!" kata Dick dengan gembira. Dick sebaya dengan George. Tampangnya mirip dengan sepupunya itu, sampai ada yang mengira mereka berdua anak kembar. "Bagiku yang paling menyenangkan adalah bahwa kita berempat kini sudah berkumpul kembali," sela Anne. "Berlima maksudmu," kata Julian sambil tertawa. "Hati-hati Anne, Timmy jangan sampai kaulupakan - nanti George mengamuk! - Nah, itu Bibi Fanny dan Paman Quentin." Ayah dan ibu George, Pak Kirrin serta istrinya, mendatangi anak-anak itu. "Halo, apa kabar? Bagaimana penjalanan kalian tadi?" kata Bibi Fanny menyapa sambil tersenyum ramah. "Ayo, kita masuk saja dulu aku sudah menyiapkan makanan yang enak untuk kalian. Wah, Anne - kau sudah bertambah besar sekarang!" Paman Quentin tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menepuk bahu ketiga keponakannya. lalu masuk lagi ke kamar kerjanya. "Yah, memang begitulah ayahmu itu!" bisik Dick pada George. "Sepanjang hari kerjanya tidak lain dari menekuni buku dan catatannya saja. Tidak enak, menjadi ilmuwan!" George hanya mengangkat bahu saja. Tentu saja ia sangat mencintai ayahnya. Ia juga bangga bahwa ayahnya seorang ilmuwan terkenal. Tapi menurut pendapatnya, Ayah terlalu serius. Apabila sedang bekerja, Pak Kirrin tidak tahan bising. Padahal ia selalu bekerja terus. Karenanya anak-anak sebanyak mungkin diminta agar bermain-main di luar saja, agar Paman Quentin tidak merasa terganggu. Apabila mereka sampai lupa dan bermain-main dalam rumah, pasti omelan akan datang bertubi-tubi. Dan tentu saja ditambah pula dengan hukuman yang jelas tidak enak! Anak-anak makan dan minum dalam suasana riang gembira - bersama Bibi Fanny, tapi tanpa Paman Quentin yang sudah sibuk kembali dengan pekerjaannya. Setelah melepaskan lelah sebentar, George mengajak ketiga sepupunya berjalan-jalan ke daerah sekitar, lalu menuju ke pantai. Sehabis mandi-mandi di teluk, mereka berlima - karena Timmy tentu saja ikut dengan anak-anak - kembali ke rumah. Mereka berjalan sambil mengobrol dan tertawa-tawa, menikmati sore pertama mereka berkumpul lagi. "Bayangkan - mulai saat ini selama dua bulan kita bisa bersama-sama terus," kata Julian dengan gembira. "Bagiku tidak ada yang bisa mengalahkan keasyikan berlibur di Kirrin sini. Biar diupahi apa pun, takkan ada yang bisa memaksaku pergi dan sini!" Julian terlalu buru-buru mengatakan hal itu. Tapi saat mereka memasuki pekarangan lewat gerbang depan, tak seorang pun di antara anak-anak yang menduga bahwa sementara itu telah terjadi perubahan penting. George yang paling dulu melihat ibunya, yang kelihatannya sedang menunggu mereka. Melihat sikap ibunya itu, George berpaling pada ketiga sepupunya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Itu bisa kulihat dan sikap Ibu. Mudah-mudahan saja bukan kejadian yang serius!" Sementara itu Bu Kirrin melihat anak-anak datang, lalu menyongsong mereka. Sikapnya gelisah sekali. "Wah, Anak-anak," katanya, "ada kabar buruk untuk kalian. Kalian tidak bisa berlibur di Pondok Kirrin. Aku sengaja menunggu kalian di sini untuk menberitahukan hal itu, supaya nanti apabila Paman Ouentin menyampaikannya kalian tidak mengomel dan berkeluh-kesah lagi. Saat ini kami belum tahu pasti bagaimana enaknya menyelesaikan persoalan ini. Yah - memang sulit!" "Apa sih, maksud Ibu?" George sudah mulai keluar lagi sikap lekas marahnya. "Apa sebabnya kami tidak bisa tetap tinggal di Pondok Kirrin? Aku...." "Sssst, jangan keras-keras nanti terdengar oleh ayahmu" kata Bibi Fanny. "Sebaiknya kita masuk saja dulu. Mungkin ayahmu sementara ini sudah tahu jalan keluar. Tapi ingat - kalian nanti harus tetap tenang, ya. Jangan langsung marah-marah, George!" Anak-anak bergegas masuk ke rumah. Mereka ingin tahu, apa sebenarnya yang menjadi persoalan. Semua juga agak cemas. Tanpa mengatakan apa-apa, semua duduk mengelilingi meja, di mana Paman sudah menunggu Paman Quentin mendehem-dehem Sebentar, lalu memulai penjelasannya. "Tadi ketika kalian sedang berjalan-jalan, tukang pos datang mengantar surat," kata Paman. "Dan ternyata isi salah satu surat untukku mengubah segala rencana yang sudah kuatur untuk masa mulai minggu depan. Aku menerima kabar bahwa kongres ilmu pengetahuan internasional di kota Jenewa yang semula akan diadakan bulan September nanti, tahu-tahu diajukan waktu penyelenggaraannya. Kurasa tidak perlu kujelaskan alasan pengajuannya - pokoknya kongres itu penting sekali bagiku dan aku ingin menghadirinya. Dan aku menghendaki agar Bibi Fanny ikut ke sana, begitu pula halnya dengan George." Anak-anak Iangsung ribut, karena sama sekali tidak menduga perkembangan yang begitu. Paman menenangkan mereka. "Tunggu dulu, aku belum selesai bicara! Tadi kukatakan George harus ikut. Sebetulnya bukan ia seorang diri saja, tapi kalian semua! Lalu setiba di Jenewa, kita akan berpisah. Bibi ikut dengan aku, sedang kalian tidak." Anak-anak terdiam mendengar penjelasan itu. George tahu, pekerjaan ayahnya sering memaksanya untuk mengubah segala perencanaan yang sudah diatur. Sekali ini penyebabnya perubahan jadwal kongres yang akan berlangsung selama dua minggu di Jenewa. Dalam kongres itu Pak Kirrin akan membacakan makalah mengenai hasil-hasil penelitian yang dilakukan olehnya sendiri. "Jadi sesampai di Jenewa kita berpisah." kata George mengulangi kata-kata ayahnya dengan nada tidak sabar. George memang selalu begitu, kalau ada sesuatu yang kurang enak baginya. "Lalu - menurut rencana Ayah, kami harus ke mana?" "Kalau kau mau sabar sedikit saja sampai aku selesai berbicara, kau pasti sudah tahu jawabannya!" tukas Pak Kirrin. "Aku serta ibumu tetap di Jenewa. Di sana kami akan tinggal di Hotel Winter. Untuk kami sudah disediakan kamar di situ. Nah - sekarang mengenai kalian! Aku hanya melihat satu kemungkinan saja..." Paman berhenti bicara, lalu menatap dengan jenaka ke arah keempat anak yang duduk dengan gelisah. Nampak jelas bahwa mereka sudah hampir tidak kuat lebih lama lagi menahan ketegangan perasaan. "Karena aku dan Bibi jelas nanti tidak punya waktu untuk menemani kalian, maka kalian terpaksa ditinggal berempat saja sendiri," "Di hotel?" tanya George bingung. Ia benar-benar tidak mengerti, bagaimana maksud ayahnya sebenarnya. "Bukan di hotel - tapi di suatu perkemahan" "Perkemahan?" seru anak-anak serempak. "Betul! Perkemahan itu khusus untuk kaum remaja yang ingin berlibur di Swiss. Tidak gampang aku mendapatkannya. Setelah menelepon ke sana dan kemari, akhirnya aku berhasil juga memesankan tempat untuk kalian." "Lalu bagaimana dengan ‘Timmy?" tanya George dengan cemas. Di wajah Profesor Kirrin yang biasanya selalu kelihatan serius, kali itu nampak senyuman sekilas. Ia tahu, anaknya sangat menyayangi anjingnya itu dan tidak tahan kalau sampai disuruh berpisah. "Jangan khawatir - Timmy boleh ikut," katanya. George menarik napas lega. Ia menanyakan perincian lebih lanjut mengenai rencana itu. Julian, Dick dan Anne mendengarkan dengan penuh minat, sementara Paman Quentin memberikan penjelasan. Bahkan Timmy pun kelihatannya ikut mendengarkan. "Perkemahan itu letaknya di tepi Danau Jenewa, kira-kira lima belas kilometer dari kota Jenewa. Pemimpinnya sepasang suami-istri, Pak Arnold beserta istrinya. Mereka sebenarnya guru. Di samping program sehari-hari yang beraneka ragam coraknya, masih cukup tersedia waktu luang bagi kalian untuk mengisinya dengan acara kalian sendiri, atau bersama anak-anak lain di situ." Suasana langsung menjadi ramai. "Kita mandi-mandi setiap hari di danau," kata Dick. "Dan berdayung-dayung," tambah George. "Pokoknya, kita bisa tetap berkumpul." kata Anne. Bab II ANAK MISTERIUS Hari-hari berikutnya anak-anak sibuk berkemas-kemas, untuk berangkat ke Swis. Perjalanan mereka berlangsung cepat sekali dan sangat menyenangkan. Bibi Fanny gembira melihat anak-anak mengobrol dengan asyik. Hanya Paman Quentin saja yang tidak banyak bicara, karena sibuk dengan pekerjaannya. Mereka berangkat dan London naik pesawat terbang. George agak kesal, karena Timmy tidak diperbolehkan ikut dalam kabin penumpang melainkan harus di ruangan yang khusus disediakan untuk binatang bawaan. Tapi dengan cepat anak itu sudah gembira lagi, ketika Dick membisikkan padanya, "Aku punya firasat - di perkemahan nanti kita akan mengalami kejadian yang asyik! Kau tahu kan, petualangan-petualangan seperti itulah yang menyebabkan liburan kita tidak pernah terasa membosankan" Sesampai di Jenewa, anak-anak masih ikut ke Hotel Winter, di mana sebagian besar peserta kongres memperoleh tempat penginapan selama kongres internasional itu berlangsung. Kemudian George beserta ketiga sepupunya berangkat menuju ke perkemahan remaja yang letaknya dekat Thiviey, sebuah kota kecil di tepi Danau Jenewa. Baru sekali itu anak-anak pergi ke Swis. Dalam perjalanan menuju perkemahan, tidak bosan-bosannya mereka mengagumi pemandangan yang indah, dengan air danau yang biru serta villa-villa yang indah di tengah kebun yang nampak sejuk dan terawat. Tempat perkemahan yang didatangi terletak di lapangan rumput yang kelihatannya seperti permadani berwarna hijau. Di sana-sini nampak pepohonan yang tumbuh terpisah-pisah, begitu pula pondok-pondok yang terbuat dari kayu serta tenda-tenda. Nampak pula sejumlah bangunan biasa yang tidak terlalu besar ukurannya. Dalam bangun-bangunan itu terdapat kantin, restoran, tempat mandi, tempat cuci pakaian, ruang perpustakaan dan juga ruang tempat permainan. Begitu mereka tiba, dengan segera anak-anak diantarkan ke kantor pimpinan perkemahan. Pak Arnold beserta istrinya menyambut mereka dengan ramah. Keduanya selalu menginginkan agar para remaja yang berlibur di perkemahan situ merasa seperti berada di rumah sendiri, dan bergaul sesama mereka dalam suasana persahabatan. "Sekarang kalian lihat saja dulu pondok tempat tinggal kalian," kata Bu Arnold. "Di situ lebih nyaman daripada dalam tenda." Ia menggamit salah seorang pemuda yang ada di situ. Pemuda itu termasuk staf pembantu pimpinan perkemahan "Namaku Andre Sandry," kata pemuda itu memperkenalkan diri. "Yuk - kutunjukkan letak pondok-pondok kalian." Dengan gembira Julian, Dick, George dan Anne mengikutinya. Andre mengajak mereka menuju dua pondok kecil yang letaknya berdampingan. Pondok-pondok itu seluruhnya terbuat dari batang-batang kayu yang tersusun berdempet-dempet. Walau ukurannya kecil, tapi kalau ditinggali dua orang saja masih lumayan lapangnya. "Asyik!" seru George dengan gembira. "Untukmu pun masih ada tempat di sini, Tim!" Malam pertama bersama para remaja lain yang berlibur di perkemahan itu sangat menyenangkan. Mereka makan malam beramai-ramai di luar, dekat api unggun. Selesai makan menyusul acara pertandingan main harmonika. Pemenangnya adalah anak yang paling indah permainannya. Dengan cepat George serta saudara-saudaranya sudah mendapat kawan-kawan baru Semuanva ramah-ramah. Apalagi terhadap timmy - ia langsung menjadi kesayangan para penghuni perkemahan. "Liburan ini bagiku merupakan selingan mengasyikkan." kata George dengan nada puas, ketika ia sudah kembali ke pondok bersania Anne. "Dengan begitu kita akan kembali dua minggu lagi ke Pondok Kirrin dengan perasaan gembira. Tapi bagiku paling menyenangkan apabila dugaan Dick ternyata benar." "Dugaannya yang mana, maksudmu" tanya Anne sambil menguap karena sudah mulai mengantuk. "Sewaktu masih di pesawat terbang ia menceritakan firasatnya padaku kata George. "Menurutnya, ia merasa kita di perkemahan ini akan mengalami petualangan yang benar-benar istimewa." "Aduh - petualangan?" sambut Anne dengan mata terbelalak. Nada suaranya menunjukkan bahwa ia tidak gembira "Maksudmu lagi-lagi peristiwa kejahatan? Kita akan menjumpai rahasia misterius, seperti yang sudah sering kita alami? Aku sebenarnya kepingin sekali bisa satu kali mengalami liburan yang tenang dan damai. Tanpa menghadapi bahaya dan kejadian-kejadian menegangkan!" "Dasar anak penakut!" kata George mencemoohkan sepupunya. "Sudah lupa ya, kenapa kita mendirikan klub Lima Sekawan? Tujuannya kan untuk menyelidiki kejadian-kejadian misterius dan menarik!" "Ya, memang - tapi asal tidak membahayakan!" bantah Anne. George sering menertawakan Anne. Menurut pendapatnya, sepupunya itu terlalu penakut dan pemalu. Sedang Anne menganggap George terlalu sembrono dan nekat. Tapi mungkin justru karena itu mereka bisa cocok. Karena watak keduanya begitu berbeda! Akhirnya kedua anak perempuan itu terlelap. Timmy tidur dekat kaki George. Cuaca keesokan paginya cerah sekali. Matahari bersinar di langit yang biru bersih. Dick dan Julian sudah bangun lebih dulu. Mereka menggedor-gedor pintu pondok Anne dan George, untuk membangunkan kedua anak perempuan itu. "He- pemalas! Cepat bangun! Kami ingin sarapan, karena sudah lapar!" Di perkemahan remaja itu anak-anak boleh makan di mana saja. Di situ tersedia empat tenda besar tempat makan. Anak-anak bisa memilih tempat duduk yang dianggap paling menyenangkan. Karena setiap kali berpindah tempat, pergaulan menjadi lebih akrab. Saban kali terjalin lagi perkenalan baru. Dengan begitu dalam waktu singkat mereka sudah berkenalan dengan semua anak dan remaja yang tinggal di perkemahan itu. Di antara mereka ada beberapa yang datang dari lnggris, seperti mereka sendiri. Selebihnya anak-anak serta remaja dari Swis, Jerman. Prancis atau ltalia. Mereka berumur antara sepuluh sampai tujuh belas tahun. Penghuni perkemahan itu tidak ada yang tidak bergembira, karena senang berada di situ. Pagi itu George beserta ketiga sepupunya duduk bersama sekelompok remaja yang sama seperti malam sebelumnya. Mereka bernama Susanne, Gretti, Jean-Paul. Alex, Johann, Paolo dan Sandra. Kita benar-benar mujur," kata Julian. "Kenalan baruku sampai sekarang semuanya baik-baik. Kalian bagaimana?" "Kalau bagiku, tidak semuanya," kata George dengan suara lirih. "Aku tidak suka pada anak laki-laki yang duduknya di belakang - sebelah sana itu! Tampangnya sama sekali tidak ramah!" Anakk-anak menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh George. Anak laki-laki yang dimaksudkan umurnya sekitar tujuh belas tahun. Anaknya tinggi besar, berambut pirang. Ia sebetulnya bertampang keren. Tapi sayangnya selalu cemberut. Kalau berbicara tidak pernah mau memandang orang yang diajak bicara. "Tampangnya tidak simpatik!" kata Dick mengomentari. "Jangan begitu, Dick!" kecam Julian sambil menggelengkan kepala. Ia tidak senang apabila adiknya itu cepat sekali menilai orang. Namun sesaat kemudian ia menambahkan, "Tapi kau memang benar tampangnya memang tidak bisa dibilang ramah." Jean-Paul yang duduk di sebelah Anne mendengar pembicaraan mereka. Ia mendekatkan kepalanya pada Anne, lalu berbisik-bisik, "Betul, dia itu memang tidak simpatik sikapnya. Namanya Rudi Hermes. Tidak ada yang tahu apa-apa tentang dirinya, kecuali bahwa ia datang dari sebuah negara kecil di kawasan Eropa Tengah. Adatnya kasar sekali. Hampir tidak pernah mau berbicara. Sampai sekarang ia belum berkawan dengan siapa pun juga di sini. Ia tidak suka menolong, padahal itu termasuk peraturan dalam perkemahan kita ini. Kita hidup di sini harus mau gotong-royong! Kami semua sedapat mungkin menjauhinya. Lebih baik jika kita tidak berurusan dengan anak yang begitu ...." "Si Rudi itu tidak tahu adat," sela Sandra, seorang anak perempuan yang ramah dan berambut coklat. "Lihatlah - saban kali ia selalu mengambil kue yang paling besar. Entah kenapa, tapi aku merasa curiga padanya. Ada sesuatu pada dirinya yang...yang...misterius!" Sikap George langsung berubah, begitu ia mendengar ’kata "misterius" disebut-sebut. Anne melihat perubahan sikap sepupunya itu. Ia tersenyum. karena ia tahu bahwa otak George pasti langsung sibuk mendengar pertanyaan Sandra. Memang begitulah George, begitu mendengar ada orang berbicara tentang sesuatu yang mengandung rahasia. Bab IV SIAPA ITU? Di pondok sebelah, Dick dan Julian sudah lebih dulu tertidur. Perkemahan sunyi sepi. Dari arah danau juga tidak terdengar apa-apa. Perahu-perahu terapung di air yang tenang, sedang kawanan angsa yang saat siang biasa nampak hilir-mudik, saat itu semua sudah masuk ke sarang. Suasana benar-benar tenang dan damai. Tiba-tiba di samping pondok Anne dan George terdengar bunyi berderik pelan, seolah-olah ada orang menginjak ranting kering. Telinga kiri Timmy langsung tegak.... Dalam keadaan tidur, Anne juga mendengar bunyi itu. Tapi ia tidur terus. Nah! Bunyi itu terdengar lagi- tapi kini lebih nyaring dan lebih dekat. Anne menggumam dengan kesal dalam tidurnya, lalu memutar tubuh ke sisi lain. Sedang Timmy menegakkan telinganya yang satu lagi! Untuk ketiga kalinya bunyi ranting patah mengganggu kesunyian malam. Dalam keadaan mengantuk Anne membuka matanya. Ia menajamkan pendengarannya. Rasanya seperti ada orang sedang berjalan menyelinap-nyelinap di luar. Anne menahan napas. Ia merasa gelisah, tanpa mengetahui penyebabnya. Timmy sementara itu sudah benar-benar bangun. Dipandangnya George dan samping. Tapi George kelihatannya masih tetap nyenyak tidur. Karenanya Timmy tetap tenang. Dengan hati-hati sekali Anne bangun, lalu duduk di tepi tempat tidur. Tepat saat itu orang tak dikenal yang berada di luar membentur dinding pondok. Nyaris saja Anne terpekik ketakutan. Barang siapa yang bergerak menyelinap-nyelinap seperti yang di luar itu, tidak mungkin berniat baik! "Jangan-jangan ada orang yang hendak merampok di sini. Tahu-tahu ia sudah masuk- lalu mungkin kita bahkan dibunuh olehnya," pikir Anne dengan perasaan panik. Ia memang tidak tergolong anak yang berani. Dirasakannya jantungnya berdebar keras. Tapi walau takut, Anne tidak sampai kehilangan akal. Ia kadang-kadang bahkan bisa benar-benar tabah. Tapi saat itu ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Karenanya ia mencoba membangunkan George. Dengan hati-hati, tentunya! "George!" bisik Anne. "Sssst - George!" George hanya mengerang saja dalam tidurnya. Anne menggigit bibir. Ia khawatir, jangan-jangan George langsung berteriak. Kalau itu sampai terjadi pasti orang tak dikenal yang di luar itu menerjang masuk untuk membungkam mereka berdua. Sekali lagi Anne berusaha membangunkan sepupunya dengan hati-hati. George digoncang-goncangnya dengan pelan. "George! Ada orang di luar! Bangun dong - jangan-jangan dia itu penjahat yang hendak membunuh kita!" "Hhh? Apa? Apa katamu?" tanya George yang masih belum benar-benar bangun. "Bangun!" bisik Anne dengan cemas. "Apa katamu tadi. Ada pembunuh? Kau mimpi rupanya!" "Sst - jangan keras-keras! Dengar saja sendiri!" desak Anne dengan suara lirih. Dalam keadaan masih mengantuk George duduk, lalu memasang telinga. Ia melakukannya sambil menguap lebar. Ia sama sekali tidak merasa senang dibangunkan tengah malam begitu. "Selama ini kau selalu mengatakan, aku terlalu banyak berkhayal," katanya menggerutu. "Padahal kau juga sama saja. Kenapa sih, tiba-tiba kau begini? Pasti kau bermimpi buruk tadi! Sudah - tidur saja lagi!" Tanpa disadari, George berbicara sambil berbisik. Tapi menurut perasaan Anne, itu pun masih terlampau nyaring. "Ssst, jangan keras-keras," desisnya. "Coba kaudengarkan baik-baik!" George menahan napas, karena saat itu dari arah luar terdengar kembali bunyi ranting patah. Timmy bangkit tanpa ribut-ribut, ia melihat bahwa George sudah bangun. "Kau juga mendengarnya tadi, Tim?" tanya George berbisik pada anjingnya. Timmy menggeram pelan. Sekarang George sudah tidak sangsi lagi. Di luar ternyata memang ada orang - dan Timmy tidak suka pada orang itu. "Kau benar," bisik George pada Anne. "Tapi kurasa kita tidak perlu merasa cemas. Orang yang di luar itu pasti salah seorang teman kita yang tidak bisa tidur, dan ingin berjalan-jalan sedikit. Atau mungkin juga ada anjing tersesat kemari." Geraman Timmy bertambah galak kedengarannya. "Coba kaulihat anjingmu - bulu tengkuknya berdiri!" bisik Anne dengan cemas. "Pasti di luar ada orang yang berminat jahat terhadap kita!" "Ahh, omong kosong!" dengus George. Disingkapkannya selimut yang menutupi tubuh, lalu berdiri. "Tapi supaya kau bisa merasa tenang, kuperiksa saja sebentar ke luar!" Detik berikutnya George sudah berada di luar, sebelum Anne sempat melarangnya. George memang berani - kadang-kadang bahkan nekat-nekatan! Kalau di luar memang ada bahaya yang mengancam, ia ingin melihat dulu seperti apa bahaya itu. Dengan demikian akan lebih gampang menghadapinya! George menyelinap ke luar. Saat itu ia hanya memakai piyama serta sepatu rumah saja. Dengan gerakan tangan ia memberi isyarat pada Timmy yang mengikutinya dengan setia, agar jangan berisik. Satu hal diketahui George dengan pasti, kalau bunyi pelan tadi ditimbulkan oleh binatang yang sedang berkeliaran di situ, Timmy pasti akan langsung mengejar dan mengusirnya pergi. Tapi kalau manusia.... Wah, kalau begitu perlu diselidiki dulu, apakah itu kawan atau bukan! Anne tetap tinggal dalam pondok, karena tidak berani ikut dengan sepupunya. Sementara itu George memeriksa keadaan sekitar pondok dengan hati-hati sekali. Tiba-tiba dilihatnya sosok tubuh seseorang yang pergi bergegas-gegas. Orang itu bisa laki-laki, tapi mungkin pula wanita walau memakai kemeja dan celana panjang. George membuntuti tamu tak diundang itu. "Aku ingin tahu, siapa dia," gumannya pada diri sendiri. Tepat saat itu bulan muncul dari balik awan. Sinarnya menerangi sosok tubuh yang sedang cepat-cepat pergi. George tertegun. Orang misterius itu ternyata Rudi! Bab V ORANG ASING George berpikir dengan heran. Kenapa selarut itu Rudi masih berkeliaran di luar? Tinggalnya kan juga di perkemahan - jadi untuk apa ia bersikap begitu hati-hati? Mungkinkah karena tidak ingin ada yang melihatnya? George kini benar-benar ingin tahu. Ia terus mengikuti Rudi, tanpa menyadari bahwa itu sama sekali bukan urusannya. "Kau tidak boleh menggonggong, Tim!" bisik George pada anjingnya. Timmy sebenarnya ingin menggonggong, untuk menyatakan bahwa ia mengerti. Tapi karena ia anjing yang cerdik, ia juga tahu bahwa gonggongannya pasti akan terdengar oleh orang yang sedang diikuti. Karenanya ia hanya menggeserkan hidung ke tangan George, untuk mengatakan bahwa ia mengerti. Sementara itu Rudi terus berjalan dengan langkah cepat dan pasti. Kelihatannya ia mempunyai tujuan tertentu. Semakin jauh perkemahan ditinggalkan, semakin pasti pula sikapnya. Tapi George malah sebaliknya - Ia harus semakin berhati-hati. Tidak boleh sampai ada orang yang terbangun, sedang Rudi tidak boleh sampai tahu hahwa ia sedang dibuntuti. Kemudian Rudi membelok, memasuki jalan yang menuju ke danau. Masa selarut ini ia hendak mandi? pikir George dengan perasaan heran. Hawa saat itu memang sangat panas - tapi belum begitu panas sampai ada orang yang pergi mandi tengah malam. Kalau begitu apa yang hendak dilakukannya di danau? Iring-iringan itu akhirnya sampai di pinggir danau. Mula-mula Rudi, setelah itu George bersama Timmy. Jalan yang dilewati menyusur air. Rudi melanjutkan langkahnya ke arah timur, tanpa menunjukkan sikap ragu sama sekali. "Astaga! Mau ke mana dia!" gumam George pada dirinya sendiri. "Nah - sekarang ia mempercepat jalannya." Sementara itu mereka sudah cukup jauh dari tempat perkemahan. Rudi kelihatannya merasa tidak perlu berhati-hati lagi. Karenanya ia berjalan lebih cepat lagi. Tapi George tidak bisa berbuat demikian. Kalau ia ikut mempercepat langkah, pasti akan terdengar oleh Rudi. Dan kalau pemuda itu sampai tahu bahwa George berjalan di belakangnya lalu menyapa, apakah yang harus dikatakan padanya? George merasa takkan mampu memberikan alasan meyakinkan, apa sebabnya ia berkeliaran selarut malam itu. Apalagi hanya dengan piyama! Anak bandel itu mengumpat dalam hati. Rudi kelihatannya sudah hafal jalan yang sedang dilalui. Sedang George harus selalu berhati-hati agar jangan tersandung. Di samping itu ia pun harus waspada terus, kalau tidak ingin kehilangan jejak Rudi. Ada peribahasa yang mengatakan, ‘Sudah jatub ditimpa tangga’. Artinya mengalami kesialan berturut-turut. Dan itulah yang dialami oleh George saat itu. Sementara ia harus bersusah payah mengikuti Rudi yang berjalan dengan cepat, tahu-tahu ada awan menutupi bulan. Jalan yang sedang dilalui langsung menjadi gelap. Padahal itu bukan jalan yang biasa, melainkan harus merintis semak belukar. Sebagai akibatnya, George tidak melihat Rudi lagi di depan. Ia masih berusaha menyusul.Tapi sia-sia! Rudi tidak nampak lagi. "Sialan," umpat George dengan suara pelan. Anak berani itu berhenti berjalan. Ia berusaha menajamkan pendengarannya. Langkah-langkah Rudi berjalan memang masih terdengar, tapi George tidak sanggup menentukan arah dari mana bunyi itu datang. George kehilangan jejak! Untung ada Timmy. Seolah-olah mengetahui kesulitan yang sedang dihadapi tuannya, tahu-tahu anjing cerdik itu lari ke depan dengan hidung didekatkan ke tanah. Semangat George bangkit kembali melihatnya. "Hebat, Timmy! Kau memang pintar! Ayo, cari Rudi - cari sampai ketemu!" Timmy mengikuti jejak bau yang ditinggalkan Rudi, sementara George menyusul dari belakang. Beberapa langkah lagi dari tepi danau, tiba-tiba Timmy berhenti. Ia berdiri tanpa bergerak. George masib sempat meraih kalung leher Timmy dan menariknya agak ke samping. "Bagus, Timmy! Tapi sekarang kau harus diam, tidak boleh ribut! Mengerti. Kita lihat saja, apa yang dicari Rudi di sini!" George mengajak Timmy bersembunyi di balik semak. Di depan mereka nampak Rudi yang berdiri di jalan. Pemuda itu memegang suatu benda. Ternyata benda itu senter! Rudi menyalakannya, lalu membuat gerak melingkar tiga kali berturut-turut dengannya. Dari tengah danau yang gelap nampak sinar memancar sebagai balasan. Sinar itu juga digerakkan membuat isyarat yang sama. "Itu pasti isyarat," gumam George. Ia merasa seperti sedang menonton film pelualangan. "Mudah-mudahan saja itu isyarat biasa saja. Tapi di pihak lain, mungkin pula merupakan tanda bagi beberapa orang yang hendak mengadakan pertemuan rahasia. Sandra ternyata memang benar! Ia mengatakan, ada sesuatu yang misterius pada diri Rudi. Jangan-jangan ia anggota komplotan penyelundup, Tim. Bagaimana pendapatmu?" Timmy menggeram pelan. Sementara itu bermacam-macam pikiran timbul dalam hati George. Penyelundup! Dengan gelisah Ia menunggu perkembangan selanjutnya, walau ia merasa sudah dapat menduganya: sebuah perahu pasti akan muncul dari arah cahaya isyarat tadi, lalu menepi. Beberapa orang turun dan menyerahkan sejumlah kantong pada Ruth. lsinya rokok selundupan. Atau mungkin pula uang! George teringat, ayahnya pernah berbicara mengenai penyelundupan devisa. Meskipun baginya tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan oleh ayahnya, tapi menurut bayangannya itu pasti dilakukan olel segerombolan oknum mencurigakan, yang dengan sembunyi-sembunyi mengangkut karung-karung berisi uang dari satu negara ke negara lain. Tentu saja tanpa melapor pada petugas bea cukai yang menjaga di perbatasan! Mungkinkah saat itu ia akan menjadi saksi penyelundupan seperti begitu? George menunggu dengan napas tertahan. Di tengah kegelapan terdengar samar bunyi mesin yang sedang berjalan. Kemungkinannya hanya ada satu - ada perahu motor datang! "Mereka benar-benar nekat!" kata George dalam hati. "Sama sekali tidak takut didengar orang lain!" Tapi tahu-tahu bunyi itu lenyap. Rupanya mesir perahu dimatikan. Hanya bunyi beriak pelan saja yang terdengar, tanda bahwa perahu yang datang itu bergerak menepi. Ketika perahu sudah sampai di tepi, Rudi maju menghampiri. "Andakah itu, Monsieur Malik?" serunya dengan suara pelan. "Ssst - jangan menyebut nama! Camkan baik-baik, demi keselamatan kita sendiri!" Terdengar suara seorang laki-laki dan dalam perahu. Rudi dan orang yang baru datang itu bercakap-cakap dalam bahasa Prancis, walau dengan logat asing yang kentara sekali. Dari logat mereka George menduga bahwa mereka berdua berlainan kebangsaan. Tapi mereka berbahasa Prancis, karena bahasa itu yang sama-sama mereka pahami. George merinding. Tiba-tiba saja ia memperoleh perasaan tidak enak. Sambil meringkuk di balik semak tanpa berani bergerak sedikit pun, barulah disadarinya bahwa ia tadi terlalu ingin tahu. Kalau ayah dan ibunya melihat dirinya saat itu, pasti keduanya akan marah. Tapi walau demikian George tidak merasa bersalah. Setelah melihat gerak-gerik Rudi yang mencurigakan dan mendengarnya berbisik-bisik dengan orang yang baru datang itu, George merasa yakin bahwa keduanya pasti bermaksud jahat. "Pasti mereka terlibat dalam salah satu rencana penyelundupan," kata George dalam hati. Perasaannya saat itu tidak bisa dibilang enak, karena telah menjadi saksi kejadian yang demikian. Dan kini ia berkewajiban melaporkan Rudi. Padahal George paling tidak suka dikatakan pengadu! Bab VI PERUNDINGAN RAHASIA Saat itu terdengar lagi suara laki-laki yang disapa oleh Rudi dengan sebutan, "Tuan Malik". "Kau sekarang tidak bisa lagi mengundurkan diri, karena sudah terlibat terlalu dalam," kata orang itu "Kau tidak menolak, ketika ditawari menjadi agen dinas rahasia negara kami. Mudah-mudahan saja kau tidak mungkir janji!" "Tentu saja tidak," jawab Rudi tegas. "Saya tidak pernah berniat memungkiri janji. Saya telah menyatakan mau mencurikan dokumen-dokumen mengenal roket hasil ciptaan Profesor Lancelot Percayalah - Saya pasti berhasil." Kata-kata itu menyebabkan George kaget. Betulkah yang didengarnya itu? Ia menyangka peristiwa yang sedang diintipnya itu hanya urusan penyelundupan biasa saja. Tapi ternyata lebih serius, karena menyangkut komplotan mata-mata internasional! Kedua orang yang sedang berdiri di tepi danau itu ternyata mata-mata - itu sudah pasti sekarang! Dan George tahu apa rencana mereka. Ia tahu siapa Profesor Lancelot, karena ayahnya paring menyebut-nyebut namanya. Profesor Philip Lancelot saat itu juga sedang ada di Jenewa. Jadi kedua penjahat itu bermaksud hendak mencuri dokumen-dokumen berisi rancangan roket hasil ciptaan profesor itu. Roket jenis baru, yang belum dimiliki negara mana pun juga? George mendengarkan dengan lebih seksama lagi. "Sekarang dengarkan baik-baik petunjuk kami," kata laki-laki yang bernama Malik. "Tugasmu itu harus kaulakukan besok malam, saat sedang diadakan pesta topeng. Kami memang sengaja memilihmu untuk melakukannya, karena seorang pemuda yang sedang berlibur di perkemahan remaja pasti takkan dicurigai. Kecuali itu kita mujur, karena pesta itu akan diselenggarakan dalam hotel tempat Profesor Lancelot menginap saat ini. Kau harus menunggu sampai tengah malam, sebelum melakukan aksimu. Saat itu lampu-lampu akan dipadamkan semua, supaya para remaja yang berpesta di situ membuka topeng masing-masing sebelum mengikuti acara perlombaan terakhir. Tugasmu sederhana saja. Kau menyelinap masuk ke dalam kamar Profesor yang saat itu pasti sudah tidur, lalu kauambil tasnya yang berisi dokumen itu. Ini kunci palsu untuk membuka pintu kamar Profesor Lancelot-" "Tapi bagaimana jika ia belum tidur?" tanya Rudi. "Pasti saat itu ia sudah tidur. Serahkan saja urusan itu pada kami! " kata orang yang bernama Malik sambil tertawa dingin. "Kami akan mencampurkan obattidur dalam minumannya." George merapatkan diri pada Timmy. Ia merinding karena merasa ngeri pada orang yang bernama Malik. Orang itu kelihatannya tidak segan-segan bertindak untuk mencapai maksudnya. Pokoknya, dokumen yang sangat diingini itu harus jatuh ke tangannya Bagaimanakah caranya agar rencana jahat itu bisa digagalkan? Tapi sementara itu Rudi masih tetap agak sangsi. "Bagaimana jika tas yang kila cari tidak ada dalam kamarnya?" tanya pemuda itu. "Tidak mungkin tidak ada." kata Malik. "Ilmuwan Perancis itu sangat berhati-hati! Ia tidak mau mempercayakan surat-surat pentingnya pada pengurus hotel, walau disimpan dalam peti besi sekalipun. Tidak, kami sudah menyelidiki segala kebiasaar Profesor Lancelot dengan cermat. Dokumen-dokumen, penting itu selalu dibawa, ke mana pun ia pergi. Ia selalu menyimpannya dalam tas yang dibawa-bawa terus olehnya!" "Kalau begitu baiklah! Kalau Anda sudah mempersiapkan segala-galanya dengan begitu teliti, sebetulnya usaha kita tidak mungkin tidak berhasil. Saya siap untuk melakukan tugas yang diperintahkan dinas rahasia negara Anda!" Nada suaranya berubah, menandakan keyakinan nya. "Begitu tasnya sudah berhasil kauambil, kau harus lekas-lekas pergi dan hotel," kata Malik lagi. "Sebuah mobil hitam dengan mesin dihidupkan sudah menunggumu di depan pintu. Kau masuk ke mobil itu!" Setelah itu laki-laki yang datang tadi berpaling dan kembali ke perahu. George masih tetap meringkuk di tempatnya bersembunyi. Akhir percakapan tidak bisa didengarnya lagi. Malik menepuk bahu Rudi, lalu melompat masuk ke perahu sementara Rudi kembali ke perkemahan. Dari tempatnya bersembunyi, George melihat Rudi berjalan lewat. Coba kalau Rudi tahu bahwa saat itu George sedang bersembunyi dekat situ! George menunggu dengan sabar, sampai Rudi sudah cukup jauh berjalan. Setelah itu barulah ia beranjak dari balik semak. Ia tidak ingin ketahuan oleh pemuda tadi. Pencakapan yang baru saja didengarnya menyebabkan George sangat bingung. Kedua orang tadi mata-mata dari dinas rahasia negara asing, yang hendak melakukan aksi yang pasti sangat besar akibatnya. Baru sekali ini Lima Sekawan menghadapi jaringan mata-mata internasional! Aku harus dengan segera memberi tahu Julian, Dick dan Anne, pikir George sambil mempercepat jalannya. Urusan ini perlu kita bicarakan, untuk menentukan apa yang sebaiknya dilakukan sekarang. "Ah Tim petualangan macam apa lagi yang kita hadapi sekarang?" kata George pada anjingnya. Ia merasa asyik menyadari bahwa Lima Sekawan kini terlibat dalam kejadian yang begitu serius, karena ia sangat menyukai tugas-tugas sulit. Kemungkinan akan bisa menggagalkan usaha jahat sekawanan agen dari mata-mata asing membangkitkan semangatnya. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa perbuatan itu mengandung bahaya yang tidak kecil. Akhirnya George sampai di pondok tinggalnya bersama Anne, lalu menyelinap masuk. Anne cepat-cepat menghampirinya begitu melihat sepupunya muncul kembali. Nyaris saja ia terpekik karena kaget dan cemas. "Ke mana saja kau tadi? Ada apa sebetulnya? Aku..." "Sssst, nanti saja kujelaskan. Sekarang kita harus membangunkan Dick dan Julian dulu. Yuk" Walau merasa bingung, tapi Anne ikut juga ke pondok Dick dan Julian. Lama juga pintu harus di gedor-gedor dulu, sebelum kedua anak laki-laki ilu bangun juga akhirnya. "He - sekarang kan masih malam?!" kata Dick menggerutu, sambil mengusap-usap matanya. "Jangan mengomel! Dengar dulu ceritaku!" kata George dengan suara pelan. Ketiga sepupunya langsung tidak mengantuk lagi, begitu mendengar kisah pengalamannya yang mengasyikkan. Mereka mendengarkan dengan penuh minat. "Wah hebat!" kata Julian ketika George sudah selesai bercerita. "Jadi Rudi ternyata menjadi kaki tangan negara asing, yang ingin sekali menguasai dokumen-dokumen rahasia milik Profesor Lancelot!" "Betul!" kata George- "Dan kita berkewajiban menggagalkan rencana jahat itu." "Setuju," kata Dick bersemangat "Di samping Profesor senegara dengan kita, ia pun rekan Paman Quentin." "Tapi bagaimana kila bisa menggagalkan rencana itu?" tanya Anne dengan cemas. "Kalau Rudi kita adukan pada polisi, ia pasti akan memungkiri segala-galanya. Karena tidak ada saksi lain yang ikut mendengarkan percakapan antara Rudi dengan orang yang bernama Malik itu, kita tidak bisa tahu dengan pasti siapa yang akan lebih dipercayai oleh polisi - George atau Rudi. Sedang mengenai Malik, kita tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tidak bisa kubayangkan kita bisa menangkapnya, Kita kan masih anak-anak!" "Anne benar," kata Julian sambil mengangkat bahu. "Kecuali itu bukan tugas kita menangkap mata-mata! Kita wajib menghubungi polisi, agar komplotan mata-mata itu bisa tertangkap tangan - sebaiknya tepat pada saat pencurian dokumen!" "Betul!" kata George. "Sebaiknya kita minta pada ayahku, agar ia yang menghubungi polisi. Tapi terus terang saja, aku lebih senang jika urusan mi bisa kutangani sendiri - atau tepatnya, bersama kalian! Pasti akan mengasyikkan nanti!" Lama juga keempat anak itu berunding. Akhirnya mereka sepakat untuk melaporkan segala-galanya pada Profesor Kirrin, ayah George. Menurut rencana mereka, ayah -George harus dengan segera rnemberi tahu Profesor Lancelot mengenal rencana pencurian dokumennya. Kemudian kedua sarjana itu pasti akan memasang jebakan bersama polisi Swis, untuk menangkap agen-agen negara asing ketika mereka sedang melakukan pencurian. "Besok pagi kita cepat-cepat memberi tahu Paman Quentin," kata Julian mengakhiri perembukan. "Sekarang kita coba saja tidur lagi sebentar, karena sekarang sudah dinihari." Anak-anak tidur lagi. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa malam itu juga akan terjadi peristiwa yang menggemparkan. Bab VII GEORGE BERJASA Anak-anak baru saja terlelap, ketika mereka dikagetkan suara ribut-ribut di luar. "Api Api! Kebakaran" "Cepat, cepat - bangun! Ada kebakaran" Secepat kilat George dan Anne sudah bangun, lalu lari ke luar. Dick dan Julian ternyata sudah lebih dulu ada di situ. Suasana di perkemahan hiruk-pikuk. "Aduh lihatlah!" kata Dick sambil menuding, sementara Timmy yang ikut ke luar ribut menggonggong-gonggong. Anne berpaling, memandang ke arah yang dituding abangnya. Saat itu juga ia terpekik karena kaget dan ngeri. Di sisi seberang perkemahan nampak nyala api berkobar-kobar. Asap tebal mengepul ke atas. "Wah, gawat - ternyata kebakaran besar," seru Julian. "Yuk, kita cepat-cepat ke sana," kata George. "Mungkin kita bisa memberikan pertolongan." Kedua pondok mereka terletak paling jauh dari pusat perkemahan. Menurut dugaan mereka, teman-teman pasti sebagian besar sudah pergi ke tempat yang terbakar. Mereka pun bergegas-gegas menyusul. "Astaga!" Dan mulut Anne terlontar seruan kaget. "Kebakarannya ternyata di ternpat tenda Jean-Paul!" "Mudah-mudahan barisan pemadam kebakaran lekas datang." kata Julian. Keempat anak itu memandang dengan perasaan kaget dan cemas. Nyala api sudah memangsa tiga buah pondok dan satu tenda. Andre Sandry dan sejumlah remaja lainnya berusaha memadamkan api, di bawah pimpinan Pak Arnold beserta istrinya. Mereka berdiri membentuk deretan panjang, sarnbil menyodorkan ember demi ember berisi air ke arah api. Tanpa ragu sedetik pun Julian langsung menggabungkan diri, diikuti ketiga saudaranya. "Jangan kendurkan semangat kalian, Anak-anak!" seru Bu Arnold. "Kita harus berusaha agar api tidak merambat lebih jauh, sementara menunggu barisan pemadam kebakaran dalang!" Kobaran api seperti menari-nari dalam kegelapan malam. Untuk sementara timbul kesan seakan-akan usaha pemadaman api akan bisa berhasil. Tapi sialnya, beberapa saat kemudian datang angin bertiup. Percikan api meloncat ke pondok yang letaknya bersebelahan dengan sumber kebakaran. Dengan segera pondok itu sudah terbakar pula. Di tengah keributan orang-orang yang sibuk berusaha menyiramkan air ke api, terdengar suara Sandra menjerit. "Patrik! Adikku! Dia masih ada dalam pondok!" Pondok yang terbuat dan batang-batang kayu berminyak sementara itu sudah dimakan api. Anne menangis karena kaget dan ngeri mengingat nasib Patrik. Apalagi Sandra - anak perempuan itu menjerit kebingungan. Tapi Andre bereaksi dengan segera, diikuti oleh Julian. Dick dan juga George.... Mereka menyiramkan air dari ember mereka ke sumber api yang baru itu. Mereka melakukannya tanpa kenal lelah. Melihat semangat mereka, api sebetulnya harus sudah padam. Tapi pondok itu masih terbakar terus. Situasi yang dihadapi benar-benar menegangkan syaraf! Saat itu Pak Arnold yang tadinya sedang sibuk agak jauh dari situ, datang berlari-lari. "Apa kudengar tadi?" serunya sambil berlari. "Di dalam masih ada seorang anak? Aku tadi kan sudah memerintahkan bahwa semua yang menempati pondok-pondok sekitar sini harus cepat-cepat ke luar!" "Saya yang bersalah!" kata Sandra sambil menangis terus. "Saya membiarkan Patrik tidur terus, karena ia agak pilek." George tidak mengacuhkan anak itu lagi. Dilihatnya pondok masih terbakar terus, sementara pemadam kebakaran belum datang-datang juga. Masuk ke dalam lewat pintu sudah tidak mungkin lagi. Nyala api di situ terlalu besar. Lewat kedua jendela samping juga tidak bisa. Barangkali kalau lewat jendela di balik pondok.... Tanpa mengatakan apa-apa, George pergi ke belakang pondok. Ternyata dugaannya tadi benar. Angin yang bertiup dari arah belakang, menghembus nyala api ke depan. Bagian belakang pondok belum terbakar. Tapi asap tebal tampak mengepul dari jendela kecil yang ada di situ. Dan jendela kecil itulah satu-satunya yang memberi kemungkinan terakhir untuk menyelamatkan Patrik! George tidak ayal barang sedetik pun. Lincah bagaikan kucing ia meloncat ke atas. Tapi sayang, ujung jari-jarinya hanya mampu menyentuh ambang jendela saja. Letak jendela itu terlalu tinggi baginya! Tapi George tidak kehilangan akal. Ia memanggil Timmy. "Kemari, Tim! Cepatlah kemari! Ya, berdiri di sini. Jangan bergerak-gerak!" Timmy disuruhnya berdiri di bawah jendela dan dipergunakannya sebagai pijakan untuk memanjat ke atas. Timmy berdiri dengan kokoh. Sambil berdiri di punggung anjing itu, George berhasil menggapai ambang jendela. Dengan tangkas ia menjunjung tubuhnya ke atas, lalu melompat ke dalam pondok. Napasnya terasa sesak, karena asap api masuk ke paru-paru lewat mulut dan hidung. Tapi sekali lagi George bereaksi dengan cepat. Ia teringat, dalam baju piyamanya ada sapu tangan. Piyamanya saat itu basah kuyup tersiram air ketika sibuk memadamkan api tadi. Jadi sapu tangannya pasti basah pula. Dan dengannya, gangguan asap akan bisa diatasi! George buru-buru mengeluarkan sapu tangan itu dari kantong piyama, lalu mengikatkannya menutupi hidung dan mulut. Setelah itu ia menghampiri tempat tidur, di mana nampak sesosok tubuh kecil berbaring. Untung saja kobaran api belum sampai ke situ. Patrik berbaring tanpa bergerak sedikit pun. Napasnya tersengal-sengal. Tanpa berpikir panjang lagi George mengangkat anak itu, lalu menggendongnya dengan susah payah ke arah jendela yang tadi. Tapi ia tidak mampu menjunjung Patrik ke atas jendela. Sedang waktu tidak ada lagi untuk mengambil kursi. Yang lebih gawat lagi napasnya sementara itu terasa semakin sesak. Bagaimana sekarang. Saat itu didengarnya suara orang memanggil-manggil di luar. "Tunggu sebentar, George! Kami datang" George melihat ujung dari sebuah tangga disandarkan ke ambang jendela. Detik berikutnya nampak kepala Andre muncul di situ. Pemuda itu membungkukkan badannya ke dalam pondok, lalu berkata sambil terbatuk-batuk, "Cepat! Sodorkan Patrik padaku!" Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersisa, George berhasil menjunjung Patrik sehingga Andre dapat mencengkeram baju piyama anak itu.... Untuk sesaat George sudah mengira bahwa ia sendiri tidak mungkin tertolong lagi. Api berkobar semakin mendekat. George sudah nyaris tidak bisa bernapas lagi. Saat itu Andre muncul kembali di ambang jendela. "Acungkan tanganmu ke arahku, George - cepat!" Dalam keadaan setengah tidak sadar lagi, George mengangkat tangannya. Ia masih sempat merasa dirinya diangkat ke atas oleh Andre lalu digendong. Setelah itu George jatuh pingsan. Ketika sadar kembali, tahu-tahu ia sudah berbaring di atas rumput. Ketiga sepupunya duduk nengelilingi dirinya.Mata Anne nampak merah, sementara Julian dan Dick kelihatan bingung. "Kau diselamatkan oleh Andre, tapi kau berhasil menyelamatkan nyawa Patrik. Anak itu selamat." "Tapi...dari mana kalian tahu bahwa aku tadi ada di dalam pondok?"tanya George terbata-bata sambil bangkit, lalu duduk. "Paru-paruku penuh asap, sehingga aku tidak bisa berteriak minta tolong!" "Tim yang menjemput kami," kata Anne menjelaskan, "dan ia membawa kami ke jendela. Di situ ia menggonggong-gonggong. Kami pun langsung mengerti, apa yang telah terjadi!" "Kau telah menyelamatkan nyawaku, Tim!" kata George. Dirangkulnya Timmy yang nampak begitu gembira melihat tuannya tidak apa-apa. Saat itu Sandra datang berlari-lari, lalu merangkul George. "Kalau bukan karena kau tadi, adikku pasti celaka," kata Sandra. "Keadaannya sudah membaik sekarang, ditolong para petugas pemadam kebakaran. Lihatlah mereka kelihatannya berhasil melawan api. Kurasa sebentar lagi kebakaran pasti dapat mereka padamkan!" George merasa segar kembali, setelah tahu bahwa aksi pertolongannya berhasil. Dihampirinya Andre untuk mengucapkan terima kasih. Pemuda itu duduk beristirahat di rumput. Tugas pemadaman kebakaran sudah diambil alih oleh barisan pemadam kebakaran. "Kau tadi benar-benar tabah, George!" kata Andre, ketika melihat anak itu datang menghampiri. "Tapi Anda juga - karena tanpa bantuan Anda ..." "Sudahlah, jangan kita bicarakan lagi," potong Andre. Ia merasa kikuk menghadapi George yang nampak ingin mengucapkan terima kasih. "Sekarang kalian lekas-lekas berganti pakaian! Kita semua basah kuyup kena siraman air tadi. Tak ada gunanya mencoba tidur lagi, karena hari sudah mulai terang. Seperempat jam lagi kita berkumpul kembali, lalu sarapan beramai-ramai." "Ya-itu ide yang baik." seru George beserta ketiga sepupunya serempak. "Jadi sampai nanti" Timmy ikut menyumbangkan pendapatnya dengan gonggongan. Setelah itu anak-anak pergi ke pondok mereka. Bab VIII PERSIAPAN PESTA Tiba-tiba Julian berseru, seperti kaget. "Aduh - kita kan bermaksud hendak menelepon Paman Ouentin pagi ini. Hampir saja aku lupa, karena ribut-ribut tadi!" "Nanti saja kita menelepon," kata George. "Sekarang aku ingin merasa bangga dulu!" Dick tercengang mendengar ucapan sepupunya itu. Tidak biasanya George membanggakan dirinya sendiri! Oleh karena itu ia lantas bertanya,"Kenapa bangga? Apakah karena kau berhasil menyelamatkan Patrik?" "Itu sangkamu!" kata George sanbiI menertawakan Dick. "Aku bangga, karena Timmy diijinkan oleh pimpinan perkemahan kita untuk ikut ke pesta topeng. Kata mereka, ia pantas menerima hadiah karena ketabahannya!" Seru Anne dengan mata terbelalak lebar. "Timmy boleh ikut dengan kita ke Hotel Winter?" "Ya, betul," kata George dengan nada bangga. "Harus kalian akui, itu memang sudah sepantasnya, kan? Aku pun sudah tahu, sebagai apa Timmy muncul di sana nanti. Kau kan berdandan sebagai gadis gembala nanti, Anne. Nah - Timmy akan menjadi anjing gembala, mengiringimu. Menurutku, ia baik sekali sebagai pengganti biri-biri yang seharusnya kaugembalakan !" Anak-anak tertawa mendengar ucapan George. Timmy menggonggong dengan gembira, karena merasa bahwa anak-anak sedang mebicarakan dirinya. Tidak lama kemudian anak-anak berkumpul, untuk sarapan pagi bersama-sama. Patrik langsung merangkul George, lalu duduk di sisinya. Anak berambut pirang itu biasanya sangat periang dan jenaka. Tapi saat sarapan itu wajahnya nampak lesu. George merasa prihatin melihatnya. "Patrik agak terganggu perasaannya karena kebakaran tadi malam, ya," bisiknya pada Sandra. "Ia kelihatannya agak lesu sekarang." "Bukan, bukan itu sebabnya," jawab Sandra sambil tertawa. "Patrik sedang kesal, karena kostumnya ikut terbakar dalam pondok. Padahal kostumnya lucu sekali! Kostum badut!" "Kasihan," kata Anne. "Bagaimana kita bisa menghiburnya, supaya bisa bergembira lagi?" Dick mendapat akal. "Kalau kostum Patrik terbakar, kenapa tidak kita buatkan saja kostum baru untuknya," katanya mengusulkan. "Itu kan tidak terlalu sulit!" "Betul katamu itu, Dick!" kata George bersemangat. "Aku sudah punya ide asyik! Jean-Paul punya topeng gorla yang tidak diperlukannya! Nah - jadi soal topeng sudah beres. Sedang untuk kostum - kita tempelkan saja kapas ke baju olahraga Patrik!" "Aduh - kau ini" kata Julian kaget. "Lalu, menurutrnu Patrik menjadi apa dengan kostum yang begitu?" "Jadi apa?" balas George. "Ia menjadi monster salju yang menyeramkan!" Arak-anak tertawa terpingkal-pingkal, termasuk Patrik. Mereka mendesak Jean-Paul agar cepat-cepat mengambilkan topeng gorila yang tidak diperlukannya. Selesai sarapan, Sandra dan Anne merobek sebuah bantal lalu mengambil kapas dari situ dan menempelkannya dengan perekat ke baju olahraga Patrik. Saat itu George teringat bahwa ia belum menelepon ayahnya, untuk memberi tahu mengenai rencana komplotan mata-mata yang didengarnya malam sebelumnya. "Yuk, ikut aku menelepon," katanya mengajak Dick dan Julian. Ketiga anak itu pergi ke bilik te!epon yang terdapat di bangunan kantor pengurus perkemahan. Tapi sebelum sampai di sana, tahu-tahu ada yang mencegat. Beberapa wartawan yang mendengar kabar tentang kebakaran malam sebelumnya datang ke perkemahan remaja itu. Ketika melihat ketiga anak itu muncul, para wartawan itu langsung mengerumuni. "Kau kan yang bernama George Kirrin?" tanya mereka pada George. "Dari Bu Arnold kami mendengar bahkan kau berjasa. menyelamatkan nyawa seorang anak kecil. Kami ingin mengambil fotomu!" Detik berikutnya nampak kilatan sinar keluar dan lampu blitz. "Malam ini juga fotomu akan terpasang di semua surat kabar," kata Dick dengan suara yang menunjukkan bahwa ia agak iri. George sendiri tidak senang bahwa orang ribut-ribut mengenai dirinya Karenanya ia hanya mengijinkan pars wartawan memuat fotonya, di mana Timmy juga kelihatan. Menurut pendapatnya, anjingnya itu juga berhak untuk mendapat penghormatan, karena jasa Timmy tidak kalah besarnya dalam peristiwa itu. Banyak sekali pertanyaan yang diajukan para wartawan padanya. Ketika mereka pergi lagi, ternyata sudah pukul sebelas siang George bergegas-gegas masuk ke bilik telepon. Kedua sepupunya bisa melihatnya dari balik dinding kaca bilik itu. Mereka melihat George memutar suatu nomor tententu, berbicara, dan sebentar kemudian mengembalikan gagang telepon ke kaitannya. George keluar lagi dengan tampang masam. "Aku tidak berhasil menghubungi orang tuaku," katanya. "Kata petugas hotel, mereka sedang pesiar bersama para peserta kongres lainnya. Pulangnya baru larut malam nanti." "Ahh, konyol!" tukas Julian jengkel. "Lalu bagaimana sekarang?" "Kalau begitu kita tangani saja sendiri !" kata George dengan tegas. Suaranya agak bergetar karena terlalu bersemangat. "Ini kan bukan pertama kalinya bagi kita! Lagipula, kita sebetulnya sama sekali tidak memerlukan ayahku sebagai perantara. Kita sendiri saja yang memperingatkan Protesor Lancelot karena malam itu kita kan juga ada di hotel itu" "Tapi jangan-jangan saat kita tiba di hotel ia sudah diberi obat tidur," kata Dick agak sangsi. "Kalau itu yang terjadi, kita jaga dokumen-dokumen pentingnya," kata George tanpa ragu-ragu. Sepanjang hari itu keadaan dalam perkemahan ramai sekali Pak Arnold dan istrinya sibuk mengatur pemindahan anak-anak yang kehilangan tempat tinggal sebagai akibat kebakaran. Pondok yang didiami Sandra dan Patrik terbakar habis. George dan Anne menyatakan bersedia menampung Sandra dalam pondok mereka, sedang Patrik diajak oleh Dick dan Julian tinggal bersama-sarna sepondok. Pimpinan perkemahan memutuskan untuk meneruskan acara pesta. Dipertimbangkan bahwa anak-anak tak boleh dibebani persoalan yang timbul karena kebakaran. Setelah keributan mereda, anak-anak sibuk lagi dengan persiapan terakhir untuk pesta topeng yang mereka tunggu-tunggu saatnya dengan penuh rasa gembira. Setiap pondok dan tenda berubah menjadi ruang ganti pakaian. Pintu, jendela dan tutup tenda dirapatkan, jangan sampai ada orang lain bisa melihat ke dalam. Hanya teman-teman terdekat saja yang boleh mengetahui kostum mana yang akan dikenakan. Dari segala arah terdengar suara anak-anak tertawa dengan riang. "Nah - bagainiana pendapat kalian mengenal diriku sebagai bajak laut? Galak tidak kelihatannya?" tanya Dick dengan bangga pada Julian dan Patrik. Ia bahkan tertawa sendiri. Tapi Patrik kelihatannya sangat kagum memandang kain hitam yang menutupi mata kiri Dick. "Kalau kakimu satu dipotong lalu diganti dengan kaki kayu, potonganmu pasti akan lebih meyakinkan lagi," kata Julian. "Tak bisa dibedakan sedikit pun dari bajak laut yang asli!" "Setuju." kata Patrik sependapat. "Tapi dengan kaki kayu, agak sulit berdansa!" Persiapan dalam pondok George, Anne dan Sandra berjalan dengan baik. Untuk terakhir kalinya Sandra menyelubungi tubuhnya dengan selendang tipis. Dengan kostum begitu, ia hendak menjadi putri sihir Anne sedang sibuk membuat sebuah bintang yang indah dari kertas emas. Agak repot juga kelihatannya, karena ia memakai gunting yang tumpul. Kalau sudah selesai, bintang itu akan ditempelkan ke ujung tongkat sihir yang dipegang oleh Sandra. George duduk di sudut. Dengan sikap agak meremehkan diperhatikannya Anne dan Sandra yang nampak sibuk sekali. Kekanak-kanakan, kata George dalam hati. Ia sendiri sama sekali tidak perlu repot-repot berdandan. Ia hanya perlu memakai pakaian senamnya yang berwarna hitam, ditambah dengan tutup kepala serta topeng yang juga berwarna hitam. Sennuanya pas baginya. George serta ketiga sepupunya begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pesta topeng, sampai nyaris saja melupakan bahaya yang mengancam diri Profesor Lancelot- dan bahwa mereka bertekad akan menolongnya. Lagipula, saat itu tidak ada yang bisa mereka lakukan. Karenanya mereka lebih baik bersenang-senang saja dulu, bersama teman-teman yang lain! Bab IX DI HOTEL WINTER Hari itu anak-anak makan malam lebih sore dari biasanya. Selesai makan, anak-anak kembali ke pondok atau tenda masing-masing, untuk mengambil bungkusan kostum mereka. Kemudian mereka bergegas-gegas masuk bersama para pengantar ke dalam kedua bis yang akan membawa mereka ke Jenewa. Semakin dekat kota besar yang akan didatangi itu, semakin gelisah pula perasaan Julian, Dick, George dan Anne. Mereka bertanya-tanya pada diri sendiri, akan berhasilkah mereka nanti menghubungi Profesor Lancelot sebelum para penjahat sempat menaburkan obat tidur ke dalam minumannya. Mudah-mudahan ia mau memperhatikan peringatan kita nanti! pikir George sambil memandang suasana malam di uar. Sayang ayah dan ibunya tidak ada ketika ia menelepon tadi. Tidak lama kemudian bis berhenti di depan pintu masuk hotel. Anak-anak melongo, ketika memasuki ruang depan yang luas, kagum melihat keindahan tempat itu. Seorang wanita muda yang bertugas di bagian penerimaan tamu menyambut kedatangan anak-anak dengan senyuman ramah. "Selamat datang, Tuan:tuan dan Nona-nona muda," katanya dengan jenaka. "Silakan ikut saya!" Anak-anak dibaginya dalam dua rombongan. Anak laki-laki dipisahkan dari yang perempuan. Setelah itu masing-masing rombongan diantarnya ke dua buah ruangan besar yang gelap. Kedua ruangan itu dibagi-bagi ke dalam bilik-bilik kecil yang dibatasi dengan penyekat. ltulah bilik tempat ganti pakaian. Karena ruangan gelap, anak-anak terpaksa masuk ke bilik masing-masing dengan jalan meraba-raba. Setelah semuanya masuk, barulah penerangan di situ dinyalakan. Dengan segera anak-anak mengenakan kostum masing-masing, lengkap dengan topeng menutup muka. Setelah selesai, wanita yang tadi mengajak mereka memasuki ruang pesta yang luas. Suasana di situ sangat meriah. Anak-anak senang sekali berkeliaran di situ tanpa ada yang mengenali, sambil berusaha menebak kawan-kawan yang semuanya memakai kostum dan topeng. Beberapa orang anak berdiri mengelompok di salah satu sudut. Orang tidak perlu menjadi peramal untuk bisa menebak bahwa mereka itu Julian beserta ketiga saudaranya - walau mereka pun tidak lupa memakai topeng. Mereka bisa dikenali karena Timmy ada di situ - walau sudah dijadikan anjing gembala pengiring Anne. "Kita harus selekas mungkin berusaha menghubungi Profesor Lancelot," kata Julian. "Yuk kita ke tempat pendaftaran tamu dulu. Kita tanyakan di situ, apakah Pak Profesor ada atau tidak. Cepat- kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Terlambat satu menit saja, bisa rusak segala rencana kita." Sementara anak-anak yang lain menyerbu meja yang berisi hidangan, keempat anak itu bersama Timmy menuju ke tempat pendaftaran tamu. Dan jauh sudah nampak kepala bagian di situ tersenyum geli melihat mereka muncul dengan pakaian pesta yang menarik itu. Ketika sudah dekat, Julian yang berdandan sebagai pengawal membuka topinya yang dihiasi dengan bulu burung yang panjang dan indah, lalu melambaikannya ke samping sambil membungkukkan badan. Begitulah gaya para bangsawan jaman dulu memberi hormat. "Maaf, Pak - saya ingin bertanya apakah Profesor Lancelot ada di kamarnya," kata Julian dengan sopan. "Profesor Lancelot? ada," kata petugas hotel itu, setelah memandang sekilas ke arah papan tempat penggantungan kunci-kunci kamar. "Kunci kamarnya tidak ada di sini" George ikut maju ke depan sekarang. "Kalau begitu harap Anda beritahukan padanya, putri Profesor Quentin Kirrin ingin berbicara mengenai suatu urusan penting! Saya yakin, ia pasti bersedia." Petugas itu agak heran mendengar cara bicara George yang begitu serius. Diraihnya pesawat telepon yang ada di dekatnya, lalu diputarnya nomor 123. Gagang pesawat didekapnya selama beberapa saat ke telinga, lalu dikembalikan ke tempatnya. Dari air mukanya nampak bahwa petugas itu heran. "Aneh - saya tahu pasti, Pak Profesor ada di kamarnya! Tapi tidak menjawab. Mungkin ia tidak ingin diganggu saat mi," tambah petugas itu. "Sayang, Nona manis-tapi saya tidak bisa mencoba menghubungi lagi, karena tamu kami tidak boleh sampai merasa tenganggu di sini. Sebaiknya kalian datang saja lagi besok pagi!" George berbuat seolah-olah setuju dengan usul itu. Ia mengucapkan terima kasih, lalu bergegas pergi dari situ. Saudara-saudaranya cepat-cepat menyusul. "Kalian dengar kata petugas itu tadi? bisik George setelah agak jauh. "Pak Profesor ada di kamarnya, tapi tidak menjawab ketika ditelepon!" "Kalau begitu ia pasti sudah meneguk minuman yang berisi obat tidur," kata Dick. "Pendapatku juga begitu," kata Julian mengiakan dengan kening berkerut. "Apa yang kita lakukan sekarang?" kata Anne dengan cemas. "Kita tidak boleh mernbuang waktu sedetik pun lagi,"kata George tegas. "Kita harus bertindak dengan segera karena ayahku tidak ada dan Profesor Lancelot tidak berdaya karena diberi obat tidur!" "Apa maksudmu?" tanya Dick. "Kita, Lima Sekawan, harus bertindak membela kepentingan negara kita. Kita harus mencegah kemungkinan jatuhnya dokumen-dokumen rahasia milik Pak Profesor ke tangan negara asing!" "Negara kan tidak punya tangan?!" "Goblok Maksudku, jatuh ke tangan agen-agen rahasia mereka!" kata George dengan kesal. "Ya, ya - sudahlah," potong Julian. "Jangan suka iseng, Dick, karena waktu tinggal sedikit. Jangan lupa, Rudi disuruh beraksi tengah malam nanti!" "Kenapa harus tengah malam?" tanya Anne. Ia agak merinding karena merasa seram membayangkan saat selarut itu. "Karena tepat saat itu lampu-lampu dipadamkan semua, agar anak-anak dapat membuka topeng masing-masing dalam gelap." "Jadi Rudi akan memanfaatkan kegelapan saat itu untuk pergi tanpa diketahui orang," gumam Anne pada dirinya sendiri. "Pasti teman-teman tidak ada yang sadar bahwa ia tidak ada lagi dalam ruang pesta! Dengan kunci palsu yang diperolehnya dari orang yang bernama Malik, ia akan bisa dengan gampang sekali memasuki kamar Profesor Lancelot untuk mencuri tas yang berisi dokumen rencana roketnya." "Kita harus menduluinya," kata George bersemangat. "Pertama-tama kita periksa dulu apakah pintu kamar Pak Profesor dikunci atau tidak. Kalau tidak, dengan gampang kita bisa mengambil tas itu, sehingga apabila Rudi datang nanti, tas yang berisi dokumen sudah tidak ada lagi di sana." "Sekarang siapa yang ke sana?" tanya Dick, seolah-olah itu merupakan pekerjaan biasa saja. "Kau, Dick!" kata George. "Soalnya jika berempat, kelihatannya terlalu mencurigakan. Sedang kalau kau pergi sendiri lalu ketahuan, kau bisa mengatakan kau salah masuk! Bilang saja kau mencari kamar kecil, atau begitu! Sekarang cepat ke sana. Buka kain penutup matamu, dan tinggalkan kelewangmu di sini-supaya tidak terlalu menyolok!" "Di mana sih, kamar nomor 123 itu?" tanya Dick. Ia agak heran mendengar George memberi petunjuk-petunjuk dengan gaya yang begitu tegas. Seperti jendral kecil! "Di mana? Tentu saja di tingkat pertama! Itu kan bisa diketahui dari nomornya. Nomor 123 berarti kamar nomor 23 di tingkat satu!" "Baiklah, kalau begitu aku naik saja sekarang!" Sementara Dick bergegas-gegas menaiki tangga hotel yang lebar menuju ke tingkat satu, anak-anak yang lain menunggu di lobi hotel. Mereka menyembunyikan diri di belakang tanam-tanaman hias yang diatur berjajar dekat dinding. Dalam hati semua berharap-harap, semoga semuanya berjalan seperti mereka rencanakan. Beberapa saat kemudian Dick datang lagi dengan air muka suram. Ia memperlihatkan kedua tangannya yang tidak memegang apa-apa. "Pintu kamarnya dikunci dari dalam," katanya. "Beberapa kali aku mencoba membukanya, tapi tetap tidak bisa. Setelah itu kuketuk pintu, dan bahkan kucoba memanggil-manggil dengan suara pelan. Tetap saja tidak ada jawaban dari dalam. Kutempelkan telinga ke daun pintu Tendengar suara orang mendengkur. Kecuali itu nampak ada sinar terang memancar lewat celah sebelah bawah daun pintu. Jadi lampu dalam kamar menyala." "Tentu saja - itu artinya Profesor Lancelot tahu-tahu tertidur karena meneguk minuman yang berisi obat tidur," kata Anne kecewa. Julian melirik ke arlojinya. "Sudah pukul sebelas malam," katanya "Kita harus cepat-cepat!" "Betul, kita harus cepat-cepat - tapi bagaimana?" kata Dick "Kita tidak punya kunci yang cocok untuk membuka pintu sialan itu!" "Memang tidak - tapi kita harus memakai otak," kata George sambil mengentak-entakkan kaki dengan sikap tidak sabar. "Jika pintu terkunci, kita coba saja masuk lewat jendela! Hawa malam ini panas sekali - jadi jendela-jendela pasti terbuka semuanya di sini!" "Apa katamu?" tanya Anne kaget "Kau mau nekat ya?! Untuk mencapai jendela kamar Pak Profesor, kita terlebih dulu harus berjalan menyusur dinding luar! Itu kan nekat namanya! Lagipula, aku cepat merasa pusing kalau berada di tempat yang tinggi!" "Tambahan lagi, saat itu ada kemungkinan onang di luar melihat kita yang sedang memanjat-manjat," kata Julian, juga dengan nada suara kurang bersemangat. "Siapa bilang itu nekat," bantah George, "dan di samping itu aku tidak pernah merasa pusing saat memanjat-manjat, biar di tempat setinggi apa pun!" Ketika dilihatnya ketiga sepupunya memandang ke arahnya dengan kaget, Ia buru-buru rnenambahkan, "Lagi pula, kurasa sebaiknya aku sendiri saja yang mencobanya, dan jangan berempat. Kamar itu letaknya kan cuma di tingkat pertama. Jadi kalau aku sampai terjatuh, paling-paling risikonya lecet atau terkilir dan tidak mungkin sampai patah leher! Kostumku hitam-hitam, jadi kurasa takkan ada yang bisa melihatku nanti!" "Tapi bagaimana caramu mencapai dinding luar?" tanya Dick yang selalu praktis pikirannya. "Itu kan gampang," kata George dengan santai. "Aku keluar lewat jendela kamar kecil di tingat satu, lalu menyusur dinding sambil berjalan pada pinggiran yang ada di situ. Satu-satunya yang sulit nanti adalah menemukan kamar Pak Profesor. Tapi kurasa aku bisa, karena sebelum tidur ia tidak sempat memadamkan lampu kamar - seperti yang kaulihat tadi, Dick!" "Tapi bagaimana jika kau salah masuk?" kata Julian, yang masih agak ragu. "Jangan khawatir, aku sudah sering melihat foto Profesor Lancelot di majalah ilmiah bacaan langganan ayahku," kata George menenangkan. "Jadi aku pasti akan mengenalinya dengan segera." George memang jarang sekali tidak bisa memberi jawaban yang kedengarannya meyakinkan. Karena waktu sudah sangat mendesak, akhirnya ketiga sepupunya mengalah. Bahkan Julian pun harus mengakui bahwa usul George memang jalan penyelesaian yang paling baik saat itu. "Beri aku waktu beberapa menit," kata George. "Setelah itu kalian naik ke tingkat satu dan menunggu di depan pintu kamar Pak Profesor. Tentu saja di situ kalian harus menyembunyikan diri, supaya tidak ada yang melihat. Kalau aku sudah sampai dalam kamar, dengan segera akan kubukakan pintu untuk kalian. Kau tinggal di sini dulu, ya Tim Tolong pegang dia, Julian - supaya tidak bisa ikut!" Setelah itu ia bergegas menaiki tangga lebar yang menuju ke tingkat satu. Edit by : zheraf.wapamp.com http://www.zheraf.net Bab X LIMA SEKAWAN BERAKSI Julian, Dick dan Anne menunggu dengan gelisah. Kenekatan George selalu masih mengejutkan mereka. Ketiga anak itu sebenarnya ingin cepat-cepat lari ke jalan, untuk mengawasi agarsaudara sepupu mereka yang berani itu tidak mengalami cedera. Tapi mereka tidak berani melakukannya, karena takut terlihat orang lain apalagi jika orang itu Rudi atau salah seorang anggota komplotannya! "Sudah beberapa menit lewat," kata Julian, seterah melirik arlojinya sebentar. "Yuk, kita menyusul ke atas!" Pesta topeng masih ramai-ramainya. Jadi boleh dibilang tidak ada orang nampak dalam hall maupun di gang. Anne dan kedua abangnya menarik napas lega ketika sampai di lantai satu, karena di situ tidak ada orang sama sekali. "Kita ke sana!" bisik Dick. Ia menunjuk ke pintu kamar Profesor Lancelot. Sementara itu George menjalankan rencananya yang berani. Ia sudah keluar lewat jendela kamar kecil di lantai dua. Kini ia berdiri pada pinggiran dinding luar yang sempit. Malam sangat gelap, sehingga penglihatannya terbatas. Tanpa sedikit pun memandang ke arah bawah. "tikus hotel’ itu beringsut-ingsut maju menelurusi pinggiran yang sempit, sementana tubuhnya dirapatkan ke dinding yang gelap. Karena pakaiannya yang serba hitam, ia sama sekali tidak bisa dilihat dari jalan. Dua kali ia harus melewati jendela yang terang. Ia melakukannya dengan sangat berhati-hati, setelah memeriksa sebentar apakah itu bukan jendela kamar yang hendak didatanginya. Ketabahan George akhirnya membawa hasil. Ia sampai ke sebuah jendela lagi yang juga terang, tanda bahwa penerangan kamar itu masih menyala. George mengintip ke dalam, lalu tersenyum puas. "Nah berhasil juga aku menemukan kamar Pak Profesor. Sekarang cepat-cepat masuk!" gumannya pelan. Ia melangkahi ambang jendela yang tidak tinggi dan masuk ke dalam kamar itu, lalu buru-buru menarik tirai dari kain beledu tebal, sehingga tidak ada yang bisa memandang ke dalam lagi. "Huff!" hembus napasnya untuk menyatakan kelegaan hati. Setelah itu dengan berjingkat-jingkat dihampirinya tempat tidur Pak Profesor. Sarjana itu berbaring tanpa sempat benganti pakaian dulu, jadi masih lengkap dengan jas, dasi dan sepatu. Tapi ia tidur pulas. Dengkurnya terdengan berat dan teratur. Setiap kali ia menghembuskan napas ke luar, nampak kumisnya yang melintang bergerak melambai-lambai. Nyaris saja George tertawa karena geli melihat pemandangan itu. Siapakah yang akan mengira bahwa laki-laki gendut bertampang kocak itu sebenarnya salah satu ilmuwan yang paling ternama di dunia? Sayang George tidak bisa lama-lama memperhatikan Pak Profesor, karena harus membukakan pintu agar ketiga sepupunya bisa menyusul masuk. "Kau benar-benar berhasil. George?" kata Anne terbata-bata karena kagum, ketika dilihatnya sepupunya itu muncul di ambang pintu kamar Profesor Lancelot. "Tidak, aku tidak berhasil," kata George mengganggu Anne. "Aku terjatuh sewaktu nenyusur pinggiran sempit tadi dan kini tergeletak di tanah dengan leher patah! Yang kaulihat sekarang ini hantuku!" "Sudah jangan main-main lagi," kata Julian dengan gugup, sambil menoleh ke arah luar. "Kalau sampai ada orang memergoki kita di sini -wah, bisa gawat nanti!" "Karena itu cepatlah masuk!" panggil George dari dalam kamar. "Anne, kau tinggal di sini bersama Timmy," kata Julian pada adiknya. "Nanti kalau ada sesuatu yang mencurigakan, bersiullah sebagai isyarat untuk kami." "Bersiul?" kata Anne cemas. "Aku kan tidak bisa bersiul." "Kalau begitu menyanyilah!" "Nyanyi apa?" tanya Anne yang masih tetap bingung. "Apa saja, pokoknya asal kami tahu. Nyanyikan saja lagu ‘Aku ini si gembala domba’ - misalnya!" "Hmm -cocok dengan dandananmu!" kata George mengganggu lagi. Tapi ia langsung membungkam lagi, karena Julian meliriknya dengan marah. George agak segan terhadap sepupunya yang paling tua itu, karena Julian kadang-kadang bisa bersikap dewasa sekali. "Tapi kalau Rudi yang muncul, kau harus bersin. Mengerti?" sambung Julian lagi. "Sekarang cepat - sebentar lagi pukul duabelas." Sementara Anne ditinggal dalam gang bersama Timmy, Dick dan Julian bergegas masuk ke dalam kamar Profesor Lancelot. Begitu keduanya sudab di dalam, cepat-cepat pintu dikunci lagi. "Sekarang apa lagi yang kita lakukan?" tanya Dick. "Kita cari tas berisi dokumen rahasia itu!" kata George. Julian langsung berhasil menemukannya, karena ternyata diletakkan oleh Pak Profesor di meja kecil yang terdapat di sisi tempat tidur. Itu bisa terjadi karena sarjana itu sama sekali tidak menduga bahwa ia akan dibius orang, sehingga tidurnya nyenyak sekali. "Jika tas ini kita bawa, ada kemungkinannya para penjahat nanti melihat kita lalu merebutnya," kata Dick agak bimbang. "Tapi kalau kita tinggalkan di sini ...." "Berikan saja padaku!" kata George. "Aku punya akal baik!" Diambilnya tas itu lalu diambilnya setumpuk kertas dokumen yang dibubuhi nornor urut dari dalamnya. "Itu dia rencana konstruksi roketnya," guman Dick dengan nada kagum, sementara Julian berseru kaget, "Mau kauapakan dokurnen-dokumen itu, George?" "Sudah, diam saja - lebih baik kautolong aku. Kau juga, Dick! Cepat! Tolong angkatkan badan Pak Profesor sebentar!" "Kau ini - apa lagi akalmu sekarang?!" tanya Julian. "Tidak ada waktu untuk menerangkannya dulu," kata George menggerutu. "Ayo, cepatlah sedikit! Kalian ini seperti siput saja pelannya!" Julian dan Dick menurut, walau dengan perasaan enggan. Berdua mereka memegang bahu Profesor Lancelot, lalu menjunjungnya sehingga terangkat sedikit dan tempat tidur. Tidak mudah melakukan tugas itu, karena Pak Profesor bukan orang yang bertubuh langsing. Sementara itu George cepat-cepat menyelipkan kertas-kertas dokumen ke bawah bantal alas kepala Pak Profesor. "Beres!" kata anak itu dengan puas, "Sekarang letakkan Pak Profesor kembali ke posisi yang tadi! Cepat, cepat! Sebentar lagi sudah tengah malam!" "Baik, Boss!" kata Dick setengah mengejek. "Bersama Julian diletakkannya Profesor Lancelot ke tempat tidur lagi, sehingga sarjana itu berbaring kembali seperti tadi, dengan kepala terletak di atas bantal dan di atas kertas-kertas dokumennya. Mulutnya masih ternganga sedikit, dan dengkurnya pun masih tetap menggetarkan kumis. Mau tidak mau, anak-anak tertawa juga melihatnya. "Kasihan - ia sama sekali tidak sadar bahwa kita saat ini kerepotan karena dia," kata George. Ia memandang berkeliling seperti mencari sesuatu. "Coba periksa sebentar, barangkali di sini ada setumpuk koran atau majalah. Kalau ada, berikan padaku!" "Itu ada koran setumpuk," kata Julian sambil memandang George dengan sikap kurang mengerti. "Untuk apa?" George mengambil tumpukan surat kabar itu lalu memasukkan beberapa lembar di antaranya ke dalam tas Profesor Lancelot. "Kita kan tidak boleh mengecewakan Rudi," katanya sambil memasukkan lembaran-lembaran surat kabar ke dalam tas. "la tidak boleh merasa curiga, apabila nanti datang dan mengambil tas ini. Malik yang memberi tugas padanya pasti akan memujinya karena telah menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Tapi begitu tas ini mereka buka-nah, pasti akan lain sekali kata-kata yang terdengar saat itu! Sayang kita tidak bisa ikut mendengarnya. Padahal aku kepingin sekali!" Kini Dick ikut tertawa. "Kau ini, macam-macam saja akalmu, George." katanya. "Hah - bisa kubayangkan tampang mereka nanti ketika menyadari bahwa kertas-kertas dokumen yang begitu mereka ingini sudah menjelma menjadi koran bekas!" "Begitulah, risiko agen rahasia!" kata George sambil menutup tas Pak Profesor kembali. "Aku tahu seorang lagi yang tentu akan sama tercengangnya seperti agen-agen rahasia itu," kata Julian sambil tersenyum. Ia memaksudkan Profesor Lancelot. "Tapi aku ingin tahu bagaimana reaksi Pak Profesor saat ia bangun lagi nanti, apabila melihat bahwa tasnya yang dijaga begitu baik ternyata tidak ada lagi di meja." "Ya - dan dokumen-dokumennya yang berharga tahu-tahu sudah pindah tempat, ke bawah bantal," sambung Dick. George tidak sempat mengatakan apa-apa, karena tepat saat itu terdengar bunyi jam berdentang di luar. Dua belas kali - tepat tengah malam! George cepat-cepat mengembalikan tas ke tempat semula di meja kecil dekat tempat tidur, lalu menyusul kedua sepupunya yang sementara itu sudah lebih dulu lari ke pintu. Dari arah ruang pesta yang terletak di lantai dasarterdengar hiruk-pikuk suara orang tertawa dan berteriak-teriak. Lampu-lampu di situ baru saja dipadamkan! Patrik, ‘monster salju yang menyeramkan’ memegang tangan kakaknya erat-erat. "Aku takut, Sandra," bisiknya. "Kenapa harus takut? Lampu dimatikan ini kan hanya untuk memberi kesempatan pada kita untuk membuka topeng!" jawab Sandra "Ya, tapi mengapa gelap sekali? Aku sama sekali tidak bisa inelihat apa-apa!" "Ini kan hanya sebentar saja. Sabarlah sedikit - nanti pasti terang-benderang kembali!" kata Sandra menenangkan. Di sekeliling mereka terdengar suara ramai anak-anak yang tertawa-tawa sambil berusaha mengenali teman-teman dalam gelap. Suasana menjadi ribut. Semua saling mendesak dan dorong-mendorong. Sandra melepaskan tangan Patrik sebentar, karena hendak membantu adiknya itu membuka topençj gorila yang dipakai. Tapi saat itu ada yang mendorong. sehingga keduanya terpisah. Patrik merasa takut dan mencari-cari kakaknya. "Sandra! Sandra!" serunya. Sementara itu anak-anak di sekelilingnya ramai berteriak-teriak dan menyanyi-nyanyi dengan gembira. Suasana meriah sekali - jauh berlainan dengan perasaan Patrik saat itu. Tiba-tiba ada yang membuka pintu menuju ke hall yang terang. Dengan cepat Patrik lari ke arah itu. Bab XI RUDI BERAKSI Ketika lonceng berbunyi menandakan pukul dua belas tengah malam, Rudi mulai beraksi. Selama itu ia menunggu di tempat yang agak terpisah dan keramaian pesta. Di bawah kostum badut yang diperolehnya dari Malik, Ia masih memakai samaran lain. Rudi memakai pakaian seragam pelayan hotel, dasi kupu-kupu, rompi dari bahan bergaris-ganis hitam dan kuning, serta sepatu bersol karet. Dengan seragam itu ia bisa berkeliaran dalam hotel, tanpa menarik perhatian orang. Begitu lampu-lampu dalam ruang pesta padam, dengan segera ia membuka topeng dan kostum badutnya, lalu menyelinap keluar. Dengan langkah-langkah ringan ia menaiki tangga, menuju lantai satu. Dari suara ramai yang datang dan tingkat bawah, Anne yang sementara itu menjaga dalam gang langsung tahu bahwa saat yang menentukan sudah datang. Ia merinding karena agak seram. "Aduh - kenapa anak-anak belum muncul-muncul juga, Tim!" bisiknya. Tiba-tiba didengarnya bunyi langkah seseorang yang menyelinap-nyelinap menaiki tangga dari tingkat dasar di mana ruang pesta terletak. Dengan cepat Anne berpaling ke arah situ Dilihatnya ada orang sampai di ujung tangga. Air muka Anne berubah. Ia mengenali orang yang datang itu. Rudi, gumamnya pelan. Sedang Timmy langsung menggeram. Bulu tengkuk anjing itu menegak. Tapi dengan segera Anne sudah teringat lagi pada petunjuk Julian ia bersin beberapa kali. George, Dick dan Julian yang masih berada dalam kamar Profesor Lancelot mendengar isyarat itu. Ketiga-tiganya tertegun, tidak jadi melangkah ke luar. Mereka memasang telinga, berusaha menangkap suara-suara yang terdengar di luar. Sekali lagi Anne bersin. Sekali itu isyaratnya jelas sekali. George dan kedua sepupunya harus bertindak dengan segera dan tanpa sampai ketahuan oleh Rudi. Tanpa menunggu lebih lama lagi mereka melesat masuk ke kamar mandi di sebelah kamar tempat Pak Profesor tidur. Pintunya ditutup. "Dick!" bisik George. "Lebih baik pintu kita biarkan terbuka sedikit. Dengan begitu kita bisa melihat apa yang terjadi dalam kamar tidur." Sementara itu Anne dan juga Rudi sama-sama berpura-pura. Ketika Rudi sampai di ujung tangga, dilihatnya seorang remaja putri berkostum gadis gembala dalam gang yang hendak dimasukinya. Rudi kesal sekali, karena semula menyangka di situ tidak ada siapa-siapa. Dengan cepat dipalingkan mukanya agar tidak sanpai dikenali anak yang pasti termasuk rombongan perkemahan dan kini sedang asyik berpesta di bawah. Rudi menuju ke lemari tempat penyimpanan sapu dan peralatan lainnya, lalu pura-pura sibuk mencari sesuatu di situ. Anne juga hebat reaksinya. Ia berbuat seolah-olah sama sekali tidak melihat Rudi. Ia berlutut, pura-pura mencari sesuatu yang terjatuh. "Aku jadi ragu, apakah betul di sini jatuhnya tadi," katanya seperti sedang berbicara dengan Timmy. "Ah - itu dia sisirku yang kucari-cari!" Anne pura-pura memungut sesuatu yang tergeletak di lantai, lalu pergi dengan Timmy ke tempat lift. Dari tempat lemari sapu, Rudi melirik terus - memperhatikan segala gerak-gerik Anne, yang tidak dikenalinya. Setelah "gadis gembala" itu masuk ke dalam lift, ia pun cepat-cepat pergi dari tempat itu, untuk mengejar waktu. Rudi menghampiri pintu kamar nomor 123. Diambilnya kunci palsu dari kantong rompinya, dimasukkannya ke dalam lubang kunci lalu diputarnya. Pintu terbuka.... Dan tempat persembunyian mereka dalam kamar mandi, anak-anak yang tiga lagi melihat sosok tubuh seorang pelayan hotel masuk ke dalam kamar tidur. "Itu Rudi!" bisik Julian. Rudi cepat-cepat mengunci pintu dan dalam, lalu memandang berkeliling kamar. Ia tersenyum lega ketika melihat Profesor Lancelot tidur pulas. "Mudah-mudahan Tuan Besar tidak perlu apa-apa lagi," gumam Rudi, menirukan gaya pelayan kaum bangsawan. "Jika Tuan Besar sudi hidungnya ditekan dengan penjepit, pasti dengkurannya tidak akan begitu berisik." Sambil berkata begitu ia terus mencari-cari. Dengan cepat sudah dilihatnya tas kulit yang terletak di atas meja kecil di sisi tempat tidur. Dengan cepat diambilnyat tas itu, sambil mengejek Profesor Lancelot lagi, "Aduh - Tuan Besar ceroboh sekali! Sama sekali tidak berhati-hati - dokumen yang begini penting dibiarkan tergeletak di atas meja." Rudi mendecak-decakkan lidah. "Keterlaluan!" Dan kamar mandi, anak-anak melihat bahwa Rudi hendak membuka tas Pak Profesor. Dick dan Julian merasa kecut, karena menurut dugaan mereka Rudi pasti sebentar lagi akan tahu bahwa ia tertipu, apabila melihat bahwa isi tas hanya beberapa lenbar surat kabar bekas saja. Tapi George tertawa lirih. "Tas itu kukunci tadi," katanya pelan. "Ini dia kuncinya!" Rudi mengangkat bahu, setelah beberapa kalu mencoba membuka tas, tapi tetap saja tidak bisa. "Ah, masa bodoh!" gumamnya. Ia memang sama sekali tidak menaruh minat pada dokumen-dokumen rahasia itu. Tugasnya saat itu hanya menyampaikannya pada orang-orang yang membayarnya untuk mencurinya. Rudi melangkah hendak keluar lagi. Tapi sebelumnya ia masih melontarkan ejekan pada Profesor Lancelot. "Aneh - kenapa ada orang bisa begini cerdas, tapi sekaligus juga tolol!" kalanya. "Para sarjana ini memang jarang yang punya otak!" Dick yang bersembunyi bersama kedua saudaranya dalam kamar mandi, selama itu sudah sulit sekali bisa menahan diri. Tapi ketika mendengar ejekan Rud yang paling akhir terhadap Pak Profesor, kemarahan Dick meledak. Tanpa sempat ditahan lagi oleh George dan Julian, anak itu menerjang ke luar. "He, Rudi! Manusia licik!" seru Dick. Bab XII SAAT-SAAT TEGANG Sesaat Rudi kaget. Tapi hanya sesaat saja. Dengan sigap dielakkannya terjangan Dick, lalu lari ke luar sambil mengempit tas yang baru saja dicurinya. Dick cepat-cepat berusaha mengejar. Tapi karena terlalu buru-buru. kakinya tersandung sehingga ia jatuh terjerembab ke lantai. Ketika ia berdiri lagi, Rudi sudah jauh. Julian menghampiri adiknya, lalu bersama-sama mereka berusaha membuka pintu yang masih sempat ditutup oleh pelayan hotel palsu tadi. Tapi ternyata bukan hanya ditutup saja, melainkan juga dikunci dari luar. Anak kunci dibiarkan olehnya terselip, sehingga anak-anak tidak mungkin bisa membukanya dari dalam. Dick George dan Julian terkurung dalam kamar. Mereka mendengar langkah Rudi berlari-lari, dalam gang di luar. Tapi ketika ia hendak menuruni tangga, tiba-tiba Anne muncul di dekatnya. Anak itu tadi memang turun dengan lilt. Tapi ketakutannya dikalahkan oleh perasaan ingin tahu. Anne kembali lagi ke atas, karena ingin siap sedia apabila bantuannya diperlukan oleh saudara-saudaranya. Dan ketika ia melihat Rudi datang berlari-lari sambil mengepit tas, dengan segera Anne bertindak. Disadarinya bahwa Rudi ternyata berhasil mencuri tas. Hal itu berarti bahwa ketiga saudaranya gagal dalam usaha menghalang-halangi pencunian dokumen. Kini tiba gilirannya untuk bertindak. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Anne tidak seperti George. Ia tidak menyukai tindakan keras. Bukan itu saja: untuk menghadapi Rudi seorang diri, ia merasa dirinya lemah sekali. Ia kan masih anak-anak! Sialnya, Timmy tadi ditinggal di bawah untuk menemani Patrik yang tadi dijumpainya mondar-mandir seorang diri di lobi yang lengang. Anne tidak sempat berpikir lagi. Tahu-tahu ia sudah menggunakan satu-satunya benda yang ada di tangannya saat itu. Ketika Rudi hendak melewatinya di ujung atas tangga, Anne menyodorkan tongkat gembala yang dipegangnya agak ke depan, mengait kaki Rudi. Pemuda yang jahat itu tersandung lalu jatuh terguling-guling di tangga. Anne tahu, sebenarnya saat itu ia harus berteriak minta tolong. Tapi lehernya terasa seperti tersumbat sehingga suaranya sama sekali tidak bisa keluar. Dan atas tangga dilihatnya Rudi berhasil berdiri lagi. Rupanya ia tidak apa-apa ketika jatuh tadi. Apa yang dilakukan olehnya setelah itu, tidak diketahui Anne. Pasti ia melarikan diri, pikir anak itu dengan kecewa. Tapi Rudi belum sepenuhnya berhasil melarikan diri. Kejutan karena tiba-tiba ada yang mengait kakinya sehingga ia jatuh terguling-guling, langsung disusul oleh kejutan berikut. Ketika ia hampir mencapai ruang depan hotel, tiba-tiba dilihatnya makhluk menyeramkan datang menerjang ke arahnya. Rudi menjerit ketakutan. Matanya terbelalak, seolah-olah tidak bisa mempercayai penglihatannya sendiri. Dengan tubuh kaku ketakutan ditatapnya makhluk yang baru sekali itu dilihatnya. Bentuknya seperti seekor anjing yang besar, tapi berkepala gorila. Makhluk itu menggeleng-gelengkan kepala. Hiii! Rudi tidak tahu bahwa "makhluk seram" itu sebenarnya hanya Timmy saja, yang saat itu memakai topeng gorila. Patrik yang tadi iseng, memasangkan topeng itu ke kepalanya. Timmy sebenarnya sama sekali tidak melihat Rudi, apalagi bermaksud menyerangnya. Anjing yang malang itu hanya sedang berusaha melepaskan topeng yang sangat mengganggu itu. Tapi Rudi bukan anak kecil yang gampang ditakut-takuti. Setelab pulih dari kekagetannya, Ia bergegas kembali menuju ke pintu depan. Tapi untuk berjaga-jaga, ia mengambil jalan agak melingkar, menjauhi "makhluk seram" yang masih terus menggoyang-goyangkan kepala. Dan akhirnya ia sampai juga di luar. Ia terlambat beberapa saat, karena cegatan Dick, Anne dan akhirnya Timmy. Sementara itu George sudah mendapat akal lain. Melihat Rudi lari, anak itu langsung menyadari bahwa takkan ada gunanya berusaha mengejar. Lari Rudi lebih cepat, jadi mustahil bisa disusul. Tidak. Aku harus memotong jalan, pikir George. Sementara Julian dan Dick masih sibuk berteriak-teriak memanggil Anne agar membukakan pintu. George sudah meninggalkan kamar Profesor Lancelot lewat jalan masuknya tadi - lewat jendela! Ia tahu, Malik mengatakan bahwa Rudi akan dijemput dengan mobil, yang menurut rencana akan menunggu di depan hotel. Karenanya Rudi setiap saat pasti akan muncul di jalan. Siluman tikus hotel kita sudah berdiri lagi di pingginan dinding yang sempit. Ia memandang ke bawah. Menurut perasaannya, tempat ia berdiri saat itu tidak begitu jauh dari tanah. Kecuali itu ia kan jago senam di sekolah. Tanpa ragu sedikit pun anak itu meloncat ke bawab, dan sampai di tanah dengan gerakan lentur. Hentakan telapak kaki ketika sampai menyebabkan pandangannya berkunang-kunang sejenak. Tapi detik berikutnya George sudah biasa lagi. Ia memandang berkeliling. Jalanan sepi di depan hotel, kanena malam sudah larut. Ia melihat sosok tubuh Rudi di balik pintu kaca hotel. Pemuda itu kelihatannya sedang melarikan diri dari seekor binatang yang kelihatannya menyeramkan. "Eh!" kata George pada dirinya sendiri. "Itu pasti Timmy! Tanpa kausadari, kau membantuku menahan Rudi sekejap!" George sadar bahwa tinggal sedikit sekali waktu yang tersisa baginya untuk bertindak. Sedang ia sama sekali belum tahu, apa sebaiknya yang harus dikerjakan saat itu. George berpaling. Saat itu dilihatnya sebuah mobil besar bewarna hitam, yang diparkir di pinggir jalan dengan mesin yang tidak dimatikan. Pasti itu mobil yang akan menjemput Rudi, kata George dalam hati. Otaknya bekerja keras. Mobil hitam itu diperlengkapi dengan tempat menaruh barang yang terpasang di atas tutup tempat bagasi. George melihat bahwa pengemudinya tidak henti-hentinya menatap ke arah pintu masuk hotel. Itu wajar, karena ia memang sedang menunggu-nunggu Rudi muncul. George menyelinap ke bagian belakang kendaraan itu, lalu naik ke atas tempat barang dan meringkuk di situ. Dalam hati ia mengucap syukur bahwa ia memilih kostum yang serba hitam. Orang harus memandang dengan teliti sekali. barulah bisa melihat dirinya menempel di belakang mobil. Rudi bergegas-gegas keluar dari hotel, membuka pintu mobil dan langsung masuk. "Cepat! Kita harus pergi dari sini." serunya pada pengemudi mobil itu, yang dengan segera mulai menjalankan kendaraannya. George harus berpegang erat-erat di belakang, karena mobil melesat dengan laju. Aku ingin tahu apa kata ketiga sepupuku apabila melihatku saat ini, pikir George. Julian pasti berteriak-teriak menyuruhku turun! Ketika mobil membelok di tikungan berikut, nyaris saja George terlempar jatuh. "Huiii!" gumamnya. "Berbahaya juga keadaanku sekarang. Tapi apa boleh buat- karena aku mustahil bisa meminta pada Rudi agar boleh duduk bersamanya di jok belakang yang empuk. Ah ternyata perjalanan ini menuju ke luar kota!" Tidak lama kemudian mobil berbelok memasuki jalan desa yang menuju ke sebuah hutan. Kini kendaraan itu meluncur di jalan yang diapit pepohonan. George menggigil di belakang. Ia sama sekali tidak menyesal bahwa ia tadi begitu berani. Namun timbul juga pertanyaan dalam hati, bagaimana kelanjutan tindakannya itu. Hawa malam yang dingmn lebih terasa lagi karena jalan mobil yang cukup kencang. Sedang ia hanya mengenakan pakaian senam yang tipis. Jari-jarinya yang mencengkeram kerangka tempat barang, makin lama makin terasa mengejang. "Aku tidak boleh sampai melepaskan peganganku," kata George dalam hati. Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab XIII TERTIPU! Untung baginya, perjalanan yang tidak enak itu tidak lama kemudian berakhir. Mobil meluncur memasuki suatu gerbang besar, menyusur jalan tak rata yang diapit pepohonan menuju sebuah rumah, yang menurut perasaan George nampak gelap dan menyeramkan. Begitu kendaraan itu berhenti, Rudi buru-buru meloncat ke luar. George yang masih meringkuk di atas tutup tempat bagasi, dengan jelas mendengar kata-kata pengemudi mobil pada Rudi. "Cepat masuk! Kutunggu kau di sini. Nanti kuantarkan kembali ke Jenewa!" Sambil mengempit tas curiannya Rudi bergegas-gegas naik ke rumah lalu masuk ke dalam. Dengan hati-hati George turun dari tempatnya meringkuk selama dalam penjalanan tadi. Ia ragu-ragu sesaat. Kalau pengemudi yang masih duduk dalam mobil sampai melihat dirinya di situ, habislah riwayatnya! Tapi di pihak lain, rasanya tidak begitu sulit untuk tidak sampai kelihatan di tempat segelap itu. George melihat bahwa pengemudi tidak mungkin bisa melihatnya, karena orang itu menatap lurus ke depan. George melihat cahaya terang memancar keluar dari salah satu jendela luar. Ia ingin sekali mengintip, apa sebetulnya yang sedang terjadi di dalam. Dengan hati-hati sekali dan sambil berjingkat-jingkat ia menjauhi mobil, mendatangi jendela yang nampak terang itu. Nah, berhasil! Dengan pelan George menegakkan tubuh, lalu mengintip ke dalam kamar. Orang yang dilihatnya di situ bukan laki-laki yang menjumpai Rudi di tepi danau waktu itu. Jadi bukan Malik! Laki-laki yang nampak dalam kamar bertubuh besar, berambut pirang. Tatapan matanya galak sekali. Rudi tegak di depannya. George bisa melihat mukanya dengan jelas. Laki-laki bertampang galak itu berbicara dalam bahasa Prancis. George bisa mendengar kata-katanya dengan jelas, karena jendela tidak tertutup rapat "Jadi kau berhasil? Baqus! Tapi aku ingin memeriksa isinya dulu, sebelum kuberikan pembayaran yang sudah kami janjikan padamu." "Anda terpaksa membongkarnya, karena tas itu terkunci!" kata Rudi. Tanpa mengatakan apa-apa lagi orang berambut pirang itu mengambil pisau pembuka surat yang ada di atas meja. Alat itu ujungnya dimasukkan ke dalam lubang kunci tas, lalu diputar. Seketika itu juga tas sudah terbuka. Agen rahasia yang dudukdi depan Rudi merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan selumpuk suratkabar bekas. Rudi mengikuti gerak-gerik orang itu dengan tegang. Dan tempatnya mengintip, George melihat betapa air muka agen rahasia tadi langsung berubah begitu melihat tumpukan surat kabar itu. Detik berikut dibantingnya kertas-kertas yang tak berguna itu ke atas meja. Matanya berkilat-kilat karena marah. "Inikah dokumen-dokumen yang katamu hendak kaucurikan untuk kami!" bentaknya. Rudi Iangsung pucat pasi mukanya. "T-t-tapi..." katanya gugup, "kertas dokumen...gambar-gambar konstruksi roket... ke mana dokumen-dokumen itu?" "Justru itu yang ingin kutanyakan padamu!" sergah orang yang duduk di depannya. "Jangan coba-coba menipu kami, karena pembalasan kami pasti tidak kepalang tanggung nanti!" "Tidak! Sungguh - saya sama sekali tidak berniat demikian!" seru Rudi sambil menggerak-gerakkan lengannya dengan sikap bingung. "Saya tadi sama sekali tidak membuka tas itu!" Nampak jelas bahwa ia sangat ketakutan. Agen rahasia yang membentak-bentaknya melihat bahwa pencuri itu tidak berbohong. Tapi itu tidak menyebabkan marahnya mereda. Ia berdiri, mengitari meja lalu menyambar kerah rompi Rudi dan menggoncang goncangnya. "Aku tidak mau membuang-buang waktuku dengan orang yang begini goblok!" bentaknya. "Satu hal sudah jelas sekarang - kau tertipu! Kejadian itu berarti bahwa ada yang mengetahui rencana kita. Pasti kau yang tidak bisa menahan mulut! Ayo, mengaku sajalah! Kau yang membocorkannya!" "Tidak!" seru RudE ketakutan. "Saya sama sekali tidak berbicara dengan siapa pun juga mengenai tugas yang disampaikan Malik pada saya. Sungguh - saya tidak mengerti, bagaimana hal ini bisa sampai terjadi. Kecuali..." Ia tertegun. "Kecuali apa?" sergah lawan bicaranya. "Ayo bicara!" "Yah - bagaimana, ya?" kata Rud agak ragu. "Mencuri tas itu ternyata tidak segampang sangkaan kita semula. Ketika saya masuk ke kamar Profesor Lancelot, orang itu memang sudah pulas. Tapi begitu saya meraih tas yang terletak di atas meja kecil, tahu-tahu saya diserang seorang anak laki-laki, yang sebelum itu rupanya bersembunyi di kamar mandi. Anak itu berusaha merebut tas." Laki-laki yang berambut pirang nampak kaget mendengarnya. "Anak laki-laki, katamu?" "Ya, betul! Saya tahu siapa dia. Ia tinggal di perkemahan remaja juga. Ya, sekarang saya ingat lagi - yang mengait kaki saya sehingga saya terjungkir di tangga tadi, itu adik perernpuannya." Rudi memberitakan kejadian yang dialaminya di hotel, setelah ia berhasil mengambil tas Profesor Lancelot dan kamarnya, sementara agen rahasia itu mendengarkan dengan kening berkerut. "Kalau begitu paling sedikit ada dua orang yang tahu tentang rencana kita," gumam orang itu. "Tapi dari siapa mereka mengetahuinya?" "Menurut saya, anak laki-laki yang bernama Richard Kirrin itu juga bekerja untuk dinas rahasia salah satu negara. Pasti dialah yang mengambil dokumen-dokumen itu dari dalam, tas, lalu memasukkan tumpukan surat kabar sebagai gantinya. Tepat saat itu saya masuk, sehingga ia tidak sempat lari lagi." "Kurasa bukan begitu kenyataannya. Kalau ia tidak ingin ketahuan, apa sebabnya kernudian kau diserang olehnya? Kan lebih mudah baginya untuk menunggu sampal di luar sudah aman lagi, lalu cepat-cepat pergi? Aneh!" Laki-laki berambut pirang itu nampak berpikir selama beberapa waktu. Kemudian ia berbicara lagi. "Kau tadi mengatakan, adik perempuan anak itu - yang berdandan dengan kostum gadis gembala - saat itu kaulihat sedang menjaga dalam gang?" "Ya, betul!" "Sekarang aku semakin tak mengerti! Kecuali kedua anak itu, kau tidak melihat siapa-siapa lagi?" desak laki-laki yang berambut pirang. "Tidak seorang pun!" jawab Rudi dengan yakin "Sejak saat tengah malam, di ruang depan hotel tidak ada siapa-siapa lagi. Bahkan portir tua yang biasa menjaga di situ, tadi sama sekali tidak nampak!" "Baiklah kalau begitu! Jadi di samping anak yang kaukatakan bernama Richard, tidak ada orang lain yang bisa menjadi saksi perbuatanmu. Kau tidak perlu khawatir - kesaksiannya di depan polisi takkan ada artinya sama sekali, karena persoalannya satu lawan satu!" "Lalu, apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanya Rudi dengan nada merendah. "Kau tidak usah berbuat apa-apa!" kata lawan bicaranya sambil mengangkat bahu. "Kau akan diantarkan kembali ke hotel dengan mobil. Sesampai di sana, kau menggabungkan diri dengan teman-temanmu seperkemahan. Lalu jika kau sudah kembali di perkemahan nanti, jangan kauubah kebiasaanmu. Tapi awasi terus siapa saja yang kauanggap mencurigakan dan yang mencurigai dirimu. Lain kali akan datang petunjuk-petunjuk baru!" George tidak menunggu pembicaraan itu berakhir. Dengan hati-hati ia menyelinap kembali ke belakang mobil lalu naik lagi ke tempatnya yang tadi. Perjalanan kembali ke hotel terasa sangat cepat baginya. Mobil berhenti sebentar di depan hotel, untuk memberi kesempatan turun bagi Rudi. George tidak berani menganbil risiko turun saat itu. Ia menunggu dulu sampai mobil sudah bergerak lagi. Baru saat itulah ia meloncat. Tentu saja jatuhnya tidak bisa dikatakan empuk. Untung saja ia tidak sampai cedera. Dengan tubuh yang terasa agak pegal ia masuk ke ruang pesta. Saat itu di situ sedang dilangsungkan acara tombola, yang merupakan acara penutup pesta. Jadi George kembali tepat pada waktunya! Dengan segera sudah dilihatnya ketiga sepupunya, yang sedang asyik mengobrol di pojok ruangan bersama Sandra, Patrik dan Jean-Paul. Timmy yang juga ada di situ sudah lebih dulu mencium kedatangan tuannya. Dengan segera anjing setia itu datang menyongsong. "Nah, Tim - kau tadi tidak nakal, kan? Ragaimana dengan kalian, ada yang memenangkan hadiah atau tidak?" kata George dengan gaya santai. Julian, Dick dan Anne cemas sekali tadi, ketika menyadari bahwa tahu-tahu George sudah tidak ada lagi. Mereka lebih-lebih merasa tidak enak, karena tidak bisa menghubungi siapa-siapa mengenainya. Karena itu dapat dibayangkan betapa lega perasaan ketiga anak itu, ketika melihat George muncul di tengah pesta. Bab XIV GEORGE GAGAL MENELEPON "George! Ke mana saja kau tadi?" tanya Dick "Aku?" balas George dengan santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. "Ah - aku cuma berjalan-jalan sebentar di luar, karena di sini tadi terlalu panas!" Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, karena di situ ada Sandra dan Jean-Paul. "Nanti saja kuceritakan kalau kita sudah kembali ke perkemahan," bisiknya pada saudara-saudaranya. "Mana Rudi?" "Itu - di sana!" kata Dick "Ia juga baru kembali. Tidak ada yang menyadari bahwa ia tadi tidak ada, di tengah keramaian ini. Kepergianmu juga begitu." "Bagus!" kata George lega. Sementara itu Rudi memperhatikan anak-anak dengan pandangan marah. Tapi kemudian ia cepat-cepat berpaling ketika tahu bahwa anak-anak pun memperhatikan dirinya. Kau berhati-hati, kata George dalam hati. Itu menguntungkan bagi kami. Tapi aku masih menang sedikit, karena tahu bagaimana aku harus bersikap terhadapmu. Keadaan saat itu agak berbelit-belit.... Soalnya, Rudi mengetahui bahwa Dick dan Anne tahu ia pencuri yang menjadi mata-mata negara asing. Sedang Lima Sekawan tahu bahwa Rudi mengetahui mereka tahu.... Tapi walau begitu masih banyak juga hal yang rnenjadi pertanyaan bagi kedua pihak. Dalam hatinya Rudi bertanya-tanya, mungkinkah Dick dan Anne sebenarnya juga agen rahasia negara asing. Sedang George dan ketiga sepupunya heran melihat Rudi begitu nekat, berani menggabungkan diri kembali - seolah-olah tadi tidak terjadi apa-apa. Memang - Rudi akhirnya gagal mencuri dokumen-dokumen rahasia milik Profesor Lancelot. Tapi bukankah perbuatannya itu ketahuan? George kelihatan sudah sulit sekali menahan kesabarannya. Ia ingin lekas-lekas kembali ke perkemahan, supaya bisa menceritakan pengalamannya tadi secara lengkap pada ketiga sepupunya. Hadiah-hadiah akhirnya dibagi-bagikan juga. Julian memenangkan seperangkat permainan panahan. Dick mendapat gantungan kunci berbentuk jam tiruan. Sedang George memperoleh kotak perhiasan, yang langsung dihadiahkan pada Anne. Anne sendiri sangat gembira, karena memenangkan kotak peralatan jahit-menjahit. Anak-anak semuanya sudah sangat capek. Gembira, tapi capek. Dalam perjalanan pulang ke perkemahan mereka tidur-tidur ayam. Tapi begitu sampai, George dan ketiga saudaranya bergegas-gegas menuju ke pondok tempat Julian dan Dick. Sesampai di situ, George langsung bercerita. "Jadi kita ternyata menghadapi komplotan yang terdiri dan paling sedikit tiga orang, yaitu Rudi, Malik serta laki-laki yang berambut pirang," katanya mengakhiri. "Dan sekarang Rudi pasti curiga pada kita. Untung saja ia tidak tahu bahwa kita sudah mengetahui segala-galanya! " Keesokan paginya ternyata bahwa Rudi terus-menerus mengamat-amati mereka, walau secara sembunyi-sembunyi. Lima Sekawan menyadarinya. "Mungkin ia menyangka Dick dan Anne bekerja untuk dinas rahasia salah satu negara asing," kata George mengajukan pendapatnya. "Tapi aku dan Julian pasti dicurigainya pula, karena kita berempat selalu bersama-sama terus. Namun ia tidak mempunyai bukti nyata untuk memperkuat dugaannya. Dan kita pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu perkembangan selanjutnya. Namun kita harus tetap waspada!" "Kurasa situasi saat ini terlalu serius dan berbahaya bagi kita," kata Julian sambil mengerutkan kening "Aku bukannya takut pada Rudi, melainkan pada orang-orang yang ada di belakangnya. Ini sudah bukan main-main lagi-keselamatan kita benar-benar terancam. Kita sedang dalam bahaya besar!" Anne langsung cemas sekali mendengarnya. "Bahaya besar? Aduh, kalau begitu kita harus cepat-cepat memberi tahu Paman Quentin," katanya dengan suara bergetar. "Kautelepon ayahmu sekarang juga, George!" Sekali ini George langsung setuju, karena memang itulah satu-satunya penyelesaian terbaik. Menghadapi jaringan mata-mata internasional, lain halnya dengan kasus kejahatan kecil-kecilan yang mereka tangani selama itu. Rencana pencurian dokumen oleh agen-agen rahasia negara asing terlalu besar untuk mereka tangani sendiri. Dan juga terlalu berbahaya! George cepat-cepat lari ke bilik telepon, lalu langsung memutar nomor Hotel Winter di Jenewa. Ia sendiri tercengang menyadari kelegaan hatinya, begitu suara ayahnya terdengar di pesawat. Sekarang Lima Sekawan tidak sendiri lagi menghadapi masalah gawat ini, kata George dalam hati. "Halo!" kata George. "Bagaimana acara pesiar Ayah dan Ibu kemarin? Aku berusaha rnenelepon Ayah, tapi kata petugas di hotel kalian berdua sedang pesiar bersama rombongan kongres. - O ya? Jadi Ayah malamnya berusaha meneleponku - Tidak, bukan tentang itu. Tidak ada korban yang jatuh dalam kebakaran. Hanya kerugian barang saja. Ah, jangan begitu, Yah, aku bukan pahlawan," sambungnya, ketika Pak Kirrin mengucapkan selamat atas jasanya menyelamatkan Patrik. "Ya, ya.. .pesta kemarin asyik sekali! Tapi bukan untuk itu aku menelepon sekarang. Ada persoalan lain. Persoalan yang sangat serius, tidak bisa kuceritakan lewat telepon umum. Bisakah Ayah datang kemari?" George kaget setengah mati, karena baru saat itu ia sadar bahwa di luar ada orang berdiri. Dan orang itu Rudi. Ia berdiri tepat di samping bilik telepon. Kelihatannya ia ikut mendengarkan pembicaraan George. Anak yang cerdik itu langsung waspada. "Ah - aku sudah rindu sekali pada Ayah." katanya selanjutnya dengan suara biasa. "Bisakah Ayah datang untuk menjenguk" Sayang Pak Kirrin tidak memperhatikan perubahan suara anaknya. Karena itu ia langsung memotong dengan ketus. "Tidak bisa ! "katanya tegas. "Kau jangan bertingkah seperti anak kecil, George! Sekarang pun aku sudah banyak kehilangan waktu, sebagai akibat acara pesiar yang kemarin itu. Padahal masih banyak kertas-kertas laporan yang masih perlu kupelajari untuk sidang berikut. Nah - berliburlah sepuas-puasnya, George! Sampaikan salam kami pada Julian, Dick dan Anne" Setelah itu hubungan putus. George merasa tak berdaya sama sekali saat itu. Ia bingung - mungkin untuk pertama kalinya. Ia tahu, Rudi mendengarkan pembicaraannya. Karenanya persoalan tidak dapat disampaikan dengan sejelas-jelasnya pada ayahnya! Dengan lesu George kembali. "Nah?" tanya Dick ingin tahu. "Sial - usahaku gagal" George menceritakan kejadian yang baru saja dialami. Saudara-saudaranya mendengarkan dengan wajah-wajah kecut. "Jika Rudi selalu ikut mendengarkan pembicaraan kita, kenapa kita tidak minta tolong saja pada Sandra atau Jean-Paul untuk menelepon Paman?" usul Anne. "Kau ini bagaimana sib?" potong Dick dengan ketus. "Jika kita menginginkan lawan kita gentar, kita tidak boleh berbicara dengan siapa pun juga tentang persoalan ini! Kalau ada sedikit saja yang bocor - wah, akibatnya bisa gawat!" "Aku akan menulis surat pada ayahmu, George!" kata Julian memutuskan. Tapi George tidak setuju. Ia menggeleng. "Saat ini kota Jenewa pasti merupakan sarang mata-mata, yang sibuk berusaha mencuri informasi dari para peserta kongres. Siapa tahu, mungkin di antara mereka ada yang bahkan memasang alat penyadap pembicaraan dalam kamar-kamar para peserta tertentu. Sekarang aku malah senang bahwa aku tadi tidak mengatakan apa-apa pada Ayah lewat telepon. Kalau itu kulakukan, mungkin kita terancam bahaya yang lebih besar lagi sekarang!" "Kalau begitu apa usulmu sekarang?" tanya Anne cemas. "Yang jelas, jangan menulis surat - karena mungkin saja dibaca oleh lawan kita," kata George tegas. "Jangan kita berikan alasan pada mereka untuk melancarkan reaksi yang terlalu keras! Kita harus berpura-pura tidak tahu apa-apa mengenai mereka. Rudi kita awasi terus, sambil menunggu perkembangan selanjutnya!" Dick tersenyum. Ia tahu bagaimana watak sepupunya itu. Menurut dugaannya, George pasti ingin bertindak sendiri - atau setidak-tidaknya tanpa bantuan orang dewasa! Bab XVI KE JENEWA Persiapan permainan lapangan ternyata sangat menguntungkan bagi Lima Sekawan. Andre Sandry yang memimpin perrnainan membagi anak-anak yang ikut dalam sejumlah kelompok yang sama besarnya. Kelompok itu harus beradu cepat. Mereka ditugaskan mencari "harta" dengan bantuan berbagai petunjuk serta tanda-tanda. Harta yang harus ditemukan berupa kantong yang berisi uang emas. Tentu saja bukan uang emas asli, tapi hanya coklat yang dibungkus dengan kertas emas berbentuk bundar dan diberi cap sehingga mirip uang emas. Bukan hadiah yang sangat menarik- tapi walau demikian permainannya sangat disukai. Sambil berteriak-teriak dengan gembira, kelompok-kelompok pencari berpencaran menuju ke lapangan, ke hutan dan tempat-tempat lain di sekitar kompleks perkemahan. Julian, George, Dick dan Anne berbuat seolah-olah ikut mencari. Mereka mencari-cari petunjuk di pohon-pohon dan semak-semak. Sambil mencari, langkah mereka semakin mengarah ke tepi jalan raya. Di situ mereka hendak menghentikan mobil yang lewat ke arah Jenewa, lalu meminta apakah mereka boleh ikut. Tiba-tiba terdengar suara Anne terpekik pelan. "Itu Rudi!" katanya dengan suara kaget. "Itu - di sana, dekat persimpangan. Ia sedang berbicara dengan seseorang." George memandang ke arah yang dituding Anne. "Aku tahu siapa dia!" katanya terbata-bata. "Itulah laki-laki berambut pirang, yang kulihat dalam rumah besar bersama Rudi waktu itu" Rudi memang sedang berbicara dengan seseorang yang berambut pirang. Keduanya berdiri agak jauh dari tepi jalan, di bawah bayangan sebatang pohon. "Kita harus berusaha membuntuti orang itu," kata George. "Mungkin dengan begitu aku bisa menemukan kembali rumah yang kudatangi malam itu." Memang - itu merupakan kesempatan baik bagi anak-anak untuk bisa menemukan kenibali rumah di mana Profesor Lancelot mungkin ditawan. Sampai saat itu belum ada kabar sama sekali mengenai nasibnya. Sementara anak-anak yang berlindung di balik semak sedang merundingkan rencana mereka, ternyata Rudi sudah selesai berbicara dengan laki-laki yang berambut pirang. Rudi melangkah pergi, lalu membelok masuk ke jalan yang tidak beraspal. Sesaat kemudian ia sudah tidak kelihatan lagi. Sedang agen rahasia yang berbicara dengannya tadi masih tetap berdiri di tempat semula. Kelihatannya seperti sedang berpikir-pikir. "Kita bernasib baik." bisik Dick. "Rudi sudah pergi. Kesempatan ini harus segera kita manfaatkan!" Dengan cepat George mengambil keputusan. "Mobil putih yang diparkir di sebelah sana itu pasti kepunyaan si rambut pirang. Aku punya akal sekarang! Orang itu kan tidak mengenal kita. Kita datangi dia, pura-pura ingin membonceng sampai ke Jenewa. Di tempat tetirah seramai mi, kaum remaja biasa berpesiar dengan jalan membonceng orang lain - jadi ia pasti takkan merasa curiga! Nanti kita pasti sudah diturunkannya sebelum sampai di kota yaitu di persimpangan jalan yang harus dimasukinya uniuk menuju ke rumahnya. Mudah-mudahan saja ia memang hendak ke sana sekarang! Kalau kita sudah sampai di persimpangan itu, rasanya takkan sulit lagi menemukan rumah itu!" "Dari mana kau tahu bahwa ia hendak ke Jenewa, dan bukan ke Lausanne?" tanya Anne agak sangsi. Pertanyaan itu wajar, karena jalan raya yang terbentang di depan mereka menghubungkan Jenewa dengan Lausanne. Kedua kota itu sama-sama terletak di tepi Danau Jenewa. "Perhatikan saja - mobilnya yang diparkir itu kan menghadap ke Lausanne. Itu berarti, tadi ia datang dari Jenewa. Pasti ia akan kembali ke arah sana lagi, setelah mobilnya dibelokkan. Aku tidak heran bahwa hari ini ia memakai mobil sport berwarna putih. Soalnya, mobil itu sama sekali tidak mirip mobil besar bewarna hitam, yang dipakai untuk menculik Profesor Lancelot. Rupanya agen rahasia itu sangat berhati-hati. Ia menghindari setiap kemungkinan yang bisa menimbulkan kecurigaan terhadap dirinya!" "He - kita harus cepat-cepat sekarang!" seru Julian. "Orang itu hendak pergi!" Julian benar. Laki-laki berambut pirang itu masuk ke dalam mobilnya. Ia menghidupkan mesin. Tepat seperti dugaan George, orang itu memutar mobilnya. Dengan cepat tapi santai, anak-anak datang menghampiri. "Maaf, Pak," sapa Julian dengan hormat. "Kami ingin bertanya, bisakah kami membonceng mobil Anda sampai ke Jenewa - atau setidak-tidaknya ke arah sana? Kami tadi ketinggalan bis. Padahal orang tua kami menunggu di Jenewa." Laki-laki itu menoleh dengan sikap kesal. Ia sebenarnya sudah hendak menolak. Tapi tidak jadi. "Masuklah." katanya dengan logat asing yang tidak begitu kentara. "Tapi aku ini hendak ke Thiviey saja - jadi kalau mau ikut sampai ke situ, silakan!" "Sampai ke sana pun sudah lumayan," kata Dick. "Selanjutnya kami lihat saja nanti. Kalau perlu berjalan kaki - ya, apa boleh buat." Julian dan kedua adiknya duduk di belakang, sementara George membuka pintu depan. Maksudnya hendak duduk di samping laki-laki itu Tirnmy tentu saja ikut dengannya. Ternyata baru saat itu laki-laki tadi melihat anjing itu. Ia menggerakkan tangannya dengan sikap kesal. "He, Anak muda!" gerutunya pada George, yang disangka anak laki-laki, "pegang anjingmu itu, jangan sampai aku digigit olehnya" "Anda tidak perlu takut," kata George sambil tertawa dalam hati, "anjingku tidak galak. Kalau kusuruh, ia pasti akan tetap berbaring di lantai!" Dengan mengejut mobil putih itu mulai berjalan. Dalam hati George tertawa geli. Ia membandingkan kenyamanan membonceng saat itu dengan keadaannya ketika berpegang erat-erat di atas tutup bagasi mobil hitam. Waktu itu jauh lebih tidak enak, pikirnya. Tapi sekarang ini kita akan menghadapi petualangan baru! Perjalanan itu tidak lama. Laki-laki berambut pirang itu menghentikan mobilnya sebelurn memasuki kota Thiviey. Anak-anak disuruhnya turun, lalu ia sendiri meneruskan perjalanan. "Cepat! Catat nomor mobilnya, Dick!" seru Anne. "Tidak bisa - angka-angkanya tidak kelihatan, karena pelatnya kotor sekali," jawab Dick kesal. "Kurasa itu memang disengaja olehnya!" George dan Julian tidak mengatakan apa-apa. Keduanya mengikuti mobil yang menjauh itu dengan pandangan mereka. Keduanya sama-sama berharap.... Dan harapan mereka ternyata benar! "Ha - dugaanku ternyata tepat!" seru George bersemangat. "Ia benar-benar membelok!" "Ya," kata Julian, "mobil itu memasuki jalan desa yang menuju ke hutan." "Kalau sangkaanku benar, tempat persembunyian komplotan itu tidak jauh dari sini letaknya," kata George lagi. "Kita harus menghampiri tempat itu dengan hati-hati." "Ah,kau ini-seolah-olah itu pekerjaan gampang," kata Julian sambil mengeluh. "Hutan yang di depan itu lumayan juga luasnya! Sementara kite masih mencari-cari rumah itu di dalamnya, tahu-tahu hari sudah malam! Kalau sudah gelap, mana mungkin kita bisa melanjutkan pencarian. Kita terpaksa kembali dengan tangan hampa!" "Kalau kita tidak mencobanya, sudah pasti kita harus pulang dengan tangan hampa!" tukas George dengan sikap tidak sabar. "Daripada membuang-buang waktu mengoceh terus di sini, lebih baik kita coba saja mencari. Aku tadi sempat mencopet sesuatu dari dalam mobil. Aku mengambilnya dan tempat barang di bawah kaca depan. Ini bisa dipakai oleh Timmy untuk mencari jejak!" Dengan gembira George melambaikan selembar sarung tangan di depan hidung saudara-saudaranya. "Pemiliknya pasti laki-laki tadi," katanya lagi. "Dengan begitu akan gampang sekali begi Timmy untuk membawa kita sampai ke rumah yang terletak di tengah hutan itu. Kesempatan baik ini tidak boleh kita sia-siakan!" Semangat anak-anak bangkit kembali. Tapi Julian yang selalu berkepala dingin, menahan George yang sudah buru-buru hendak pergi. "Tunggu!" katanya. "Langsung masuk ke sarang mereka, bisa berbahaya sekali akibatnya! Kita tidak boleh mengambil risiko yang tidak perlu. Sebaiknya kita berpencar membentuk dua kelompok. Dick dan Anne, kalian berdua pergi ke Jenewa. Naik bis atau membonceng mobil orang - terserah pada kalian. Sesampai di sana, kalien cepat-cepat mencari Paman Quentin!" "Ya, memang betul," kata George. "Ayah memang mesti diberi tahu.’ "Sementara itu aku dan George mencari rumah di tengah hutan di mana Pak Profesor mungkin disembunyikan. Di sana kami akan mengadakan pelacakan sebisa-bisanya. Setuju semua?" Dick dan Anne sebenarnya tidak begitu suka disuruh berpisah. Apalagi Dick, yang takut tidak bisa ikut mengalami petualangan yang mengasyikkan. Tapi keduanya juga sadar bahwa hal itu memang perlu. "Ya deh," kata Dick sambil menggerutu. "Yuk, Anne- kita berangkat saja sekarang. Itu ada halte bis. Kita menunggu bis di situ. Mungkin juga nanti ada mobil yang mau membawa kita ke kota." "Tapi bagaimana jika terjadi apa-apa dengan kalian berdua, sedang kami tidak ada?" tanya Anne dengan cemas. Dipandangnya George dan Julian berganti-ganti. "Justru karena itulah kita harus berpisah," tukas Dick. "Kita berdua harus memberi tahu Paman Ouentin agar nereka berdua bisa dibantu apabila saat itu mereka sudah berhasil masuk ke sarang mata-mata. Ayo, kita berangkat!" Kedua anak itu bergegas pergi. Dick agak kurang enak perasaannya. Ia khawatir, kalau tiba-tiba muncul anak-anak yang juga ikut dalam permainan ‘mencari harta’ yang diadakan oleh Andre. Kalau sampai ada anak lain di situ, ia dan Anne takkan bisa lagi berangkat ke Jenewa tanpa menjelaskan alasannya pada teman sepermainan itu. Jadi tidak ada pilihan lain, mereka harus berusaha ikut dengan mobil pertama yang lewat dan menuju ke Jenewa. Kecuali itu Dick sebenarnya kurang setuju bahwa hanya George dan Julian saja yang pergi menantang bahaya sebesar itu. Lagipula, apakah Paman Quentin ada di hotel? Dan kalaupun ada, akan bisakah ia mendesak Paman agar segera ikut dengannya? "Dick - itu ada mobil datang, dinaiki seorang laki-laki dan seorang wanita!" seru Anne sambil menggamit abangnya yang sedang merenung. Dengan segera Dick mengangkat tangannya, memberi isyarat agar berhenti. Pengemudi mobil yang datang segera menginjak rem. Mobil berhenti dekat Dick dan Anne. Wanita yang duduk di samping pengemudi memandang keduanya dengan curiga, sementara Dick menjelaskan maksudnya. "Jadi kalian hendak ke Jenewa?" kata wanita itu. "Hm, begitu! Tapi kalian kelihatannya masih muda sekali! Mau apa di Jenewa? Jangan-jangan kalian ini minggat dari rumah!" "Sungguh, Bu - kami tidak..." kata Dick, tapi Iangsung dipotong oleh wanita itu. "Maaf- tapi tidak bisa!" Wanita itu berpaling pada laki-laki yang memegang kemudi. "Sudahlah - kita jalan lagi, Albert!" Mobil itu meninggalkan Dick dan Anne. "Takkan ada yang mau membawa kita," kata Anne gelisah. "Lihat saja nanti dugaanku pasti benar!" Setelah itu datang sebuah mobil pengangkut susu. Kaleng-kaleng kosong yang ditaruh di bak belakang menimbulkan bunyi berisik sekali, berdentang-dentang. Dick mengayun-ayunkan lengannya dengan bersemangat, sampai mobil pengangkut itu akhirnya berhenti di dekat mereka. "Halo," sapa supir kendaraan itu. "Kalian mau membonceng, ya?" "Betul, Pak, kami tadi ketinggalan bis!" "Ayo, cepat naik! Aku tidak bisa menunggu lama-lama, karena pekerjaan belum selesai!" Dalam hati Dick mengatakan bahwa keadaannya juga sama saja. Ia pun harus cepat-cepat menyelesaikan tugas. Dibantunya Anne naik ke bak belakang. Sesampai di Jenewa, tukang susu menurunkan kedua anak itu di pojok jalan dekat hotel. Dick dan Anne mengucapkan terima kasih, lalu bergegas-gegas menuju ke Hotel Winter. Mudah-mudahan orang tua George tidak sedang bepergian! Bab XVII KE SARANG MUSUH Dick dan Anne berlari-lari memasuki ruang depan hotel. Saat itu seorang wanita berdandan rapi nampak berjalan hendak ke luar. "Bibi Fanny!" seru Anne, begitu dikenalinya wanita itu. "Dick! Anne! Darimana kalian berdua?" tanya Bibi Fanny tercengang. "Apa yang kalian lakukan di sini? Untung saja kita berjumpa di sini. Paman kalian sedang menghadiri sidang, dan aku saat ini hendak berbelanja sebentar. Kenapa kalian tahu-tahu ada di sini? Mana George dan Julian? Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan mereka!" Kekhawatiran Bibi Fanny itu sudah sewajarnya, karena ia mengenal baik kelakuan George yang sering nekat. Tapi Dick menenangkannya. "Tidak, mereka tidak apa-apa!" katanya. "Kami cuma perlu berbicara dengan Paman Quentin. Ada urusan penting, menyangkut Profesor Lancelot. George dan Julian yang menyuruh kami kemari." Sesaat Bu Kirrin hanya melongo saja menatap keponakannya. Tapi ketika dilihatnya bahwa Dick bersungguh-sungguh, dengan segera ia mengambil keputusan. "Baiklah! Sebaiknya kita ke kamar saja dulu. Nanti kalian ceritakan segala-galanya. Setelah itu akan kuteleponkan Paman Quentin." Setelah Dick dan Anne selesai bercerita, dengan segera Bibi Fanny mengangkat pesawat telepon. Ia minta dihubungkan dengan gedung tempat para ilmuwan internasional sedang mengadakan kongres. Tapi petugas kongres yang menerima telepon mengatakan bahwa ia tidak berani mengganggu sidang yang sedang berjalan. Ia menyarankan, sebaiknya Bu Kirrin saja datang dan menemui suaminya dalam ruang sidang. Dengan kesal Bibi Fanny mengembalikan gagang telepon ketempatnya. "Ayo, ikut aku!" katanya pada Dick dan Anne. "Kita naik taksi ke tempat Paman Quentin bersidang!" Dalam beberapa menit mereka sudah sampai di depan gedung tempat kongres ilmuwan internasional diselenggarakan. Tapi memasuki ruang sidang, ternyata tidak secepat itu. Bu Kirrin harus mengisi formulir berlembar-lembar, menjawab beraneka ragam pertanyaan, sampai akhirnya ia diijinkan masuk. "Tunggu aku di sini," katanya pada Dick dan Anne. "Mudah-mudahan aku bisa cepat-cepat mengajak Paman kalian keluar!" Harapan itu tinggal harapan belaka. Setelah beberapa waktu menunggu, akhirnya Dick dan Anne mulai merasa tidak sabar. Tapi tahu-tahu mereka melihat seseorang lewat di luar ruang sidang. Keduanya sama sekali tidak menyangka akan melihat orang itu di situ. "Itu kan Rudi!" bisik Anne pada Dick. Benar, orang itu Rudi! Ia memasuki tempat kedua anak itu sedang duduk menunggu paman dan bibi mereka. Rudi berjalan dengan kepala tertunduk, seperti sedang berpikir. Sebelum ia sempat melihat mereka, Dick sudah menarik adiknya memasuki sebuah ruangan kecil. Di pintu ruangan itu terpasang tulisan, ‘Garderobe' yang berarti bahwa ruangan itu tempat menitipkan mantel dan payung. "Jangan sampai Rudi tahu bahwa kita ada di sini," bisik Dick. "Karena begitu melihat kita, ada kemungkinan kecurigaannya timbul - lalu ia menelepon majikannya untuk memperingatkan. Tapi aku ingin tahu, apa yang dilakukannya di sini." Dick berhenti berbicara, karena saat itu pintu ruangan dibuka dari luar...dan Rudi masuk ke dalam. Pemuda itu kaget setengah mati melihat Dick dan Anne ada di situ. Ia cepat-cepat mundur lalu berpaling. Tapi Dick tidak memberi kesempatan padanya untuk melarikan diri. Disadarinya bahwa ia harus dengan segera membuat Rudi tidak berdaya. Dick meloncat dengan sigap. Disergapnya Rudi sehingga pemuda itu jatuh terbanting ke lantai. Tindakan Dick itu begitu cepat - dalam sepersekian detik saja segala-galanya sudah selesai! Rudi langsung pingsan ketika belakang kepalanya membentur ubin. Dick memanfaatkan kesempatan baik itu untuk mengikat tangan mata-mata remaja itu dengan ikat pinggangnya. Sedang mulut Rudi disumpal dengan sapu tangan. "Cepat, Anne bantu aku" kata Dick. "Kita seret dia ke dalam lemari tempat sapu yang di sana itu! Dengan begitu ia tidak bisa merepotkan kita lagi" Tapi Dick rnasih kurang puas. Agar lebih pasti bahwa Rudi tidak dapat berkutik, diikatnya tangan pemuda itu dengan kain lap, sedang kepalanya disungkup dengan ember. Lalu dikuncinya lemari, sedang anak kuncinya dikantongi. Setelah itu bersama Anne ditunggunya Bibi Fanny di luar. Sementara itu apakah yang terjadi dengan Julian, George dan Timmy? Begitu Dick dan Anne sudah pergi, mereka bertiga berlari-lari menyusur jalan, menuju ke persimpangan jalan desa yang tadi dimasuki mobil sport bewarna putih. Keadaannya agak gawat, ketika mereka sampai di bagian yang lapang. "Kalau mereka yang di rumah besar itu bisa melihat jalan ini, pasti kita akan ketahuan," kata Julian dengan cemas. "Jangan khawatir," kata George menenangkan. "Hutan kan masih agak jauh, sedang rumah itu letaknya di tengah hutan. Kita masih jauh - percayalah!" Mendengar penjelasan itu, Julian tenang kembali. Mereka melanjutkan perjalanan. Keringat mereka bercucuran, karena berlari-lari. Hanya Timmy saja yang gembira, karena bisa berlari jauh. Akhirnya mereka sampai dalam hutan yang teduh. "Huhh," kata George lega. "Sekarang aku bisa bernapas secara normal lagi." "Ya, aku juga sudah kehabisan napas," kata Julian terengah-engah. "Sekarang kita harus semakin berhati-hati. Kita memasuki bagian yang paling berbahaya." George menggamit anjingnya. "Tim," katanya, "sekarang kau harus membuktikan kejagoanmu melacak jejak. Cium bau sarung tangan ini - lalu bawa kami ke tempat pemiliknya!" Sambil mengibaskan ekor, Timmy mengendus-endus sarung tangan kulit yang disodorkan George ke depan hidungnya. Setelah itu ia lari ke depan George dan Julian tidak mampu mengikuti. Tapi Timmy ternyata menunggu di persimpangan berikut. Ketika kedua anak yang menyusul sudah sampai, anjing yang cerdik itu membelok ke kanan. "Hebat, Tim!" kata Julian kagum. "Kalau dia tidak ada, kita pasti tidak tahu ke mana kita harus membelok. Timmy memang penunjuk jalan yang ulung!" "Betul," kata George dengan bangga. "Tidak percuma Timmy anggota Lima Sekawan!" Selama beberapa waktu mereka menyusur jalan di bawah pepohonan. Sekali-sekali mereka memanggil Timmy agar kembali sebentar. Anjing itu disuruh mengendus sarung tangan lagi, agar jangan sampai kehilangan jejak. Tiba-tiba George berhenti berjalan. "Kurasa kita sudah hampir sampai," bisiknya pada Julian. "Aku masih ingat, waktu itu sebelum sampai di rumah yang kita cari sekarang ini, mobil melewati tempat lapangan yang kelihatannya seperti begini." Mereka meneruskan langkah dengan sikap semakin berhati-hati. Sesaat kemudian George berhenti lagi. "Lihatlah!" katanya sambil memegang lengan Julian. "Itu dia rumahnya." Julian ikut berhenti. Ia memandang ke arah yang ditunjuk oleh George. Ia melihat sebuah gedung bewarna putih di balik pepohonan. Rumah itu berada di tengah pekarangan yang dikelilingi pagar kawat yang tinggi. "Sialan - mengapa kau tidak mengatakan rumah ini lebih cocok jika disebut benteng?" kata Julian menggerutu. "Sekarang bagaimana cara kita masuk?" Ternyata George juga tidak tahu akal. "Kau benar," keluhnya. "Memang tidak mudah masuk ke situ." "Kurasa lebih baik kita kembali saja sekarang," kata Julian. "Kita sudah tahu di mana markas besar komplotan itu. Urusan selanjutnya bukan tugas kita." Tapi George tidak sependapat dengannya. Menurut anak bandel itu, mereka tidak boleh putus asa, setelah berhasil sampai sejauh itu. Lima Sekawan kan belum pernah mundur! "Mengapa kita harus cepat-cepat pergi lagi?" tanya George. "Karena sudah sampai di sini, setidak-tidaknya kita bisa berusaha menyelidiki apakah Pak Profesor memang benar ada di sini. Tolong angkat aku ke atas, Ju! Aku hendak memanjat pagar kawat itu!" "Kau sudah sinting, ya?!" kata Julian kaget. "Kau hendak nekat, masuk ke sarang musuh?" "Aku sama sekali tidak nekat," bantah George. "Lihat saja nanti - aku akan sangat berhati-hati!" Julian masih berusaha mendesak George, agar mau mengurungkan niatnya yang berbahaya itu. "Pikirkanlah itu kan terlalu berbahaya!" desak Julian. "Ada kemungkinan pagar kawat itu dialiri listrik - atau dihubungkan dengan alat tanda bahaya. Atau mungkin pula di tengah pekarangan disebarkan jebakan di mana-mana. Sudahlah - lebih baik tinggal di sini saja, George! Pokoknya, aku tidak mau membantumu ke seberang pagar!" "Baiklah - kalau begitu akan kucoba sendiri," kata George sambil marah-marah. Ia berjalan menghampiri pagar. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi mobil datang. George dan Julian cepat-cepat menyembunyikan diri di balik semak. Timmy mereka tarik, supaya ikut bersembunyi. Untung reaksi mereka cepat - karena saat berikutnya sebuab truk kecil muncul di tikungan, lalu berhenti di depan pintu pagar yang terkunci. Pengemudi truk itu turun untuk membuka pintu. Ia hanya sendiri saja dalam kendaraan itu. Bab XVIII PENYERGAPAN Dengan cepat George beraksi. Ditinggalkannya Julian yang hanya bisa melongo. Tepat pada saat pengemudi truk membalikkan tubuh dan menghampiri pintu pagar, dengan mengendap-endap George mendekati bak belakang truk. Ia meloncat ke atas bak, lalu bersembunyi sebisa-bisanya di belakang sebuah peti. Julian harus memegang Timmy kuat-kuat, karena anjing setia itu hendak menyusul tuannya ke atas truk. Julian benar-benar bingung menghadapi situasi itu. Tidak sadarkah George akan bahaya yang dihadapi sebagai akibat tindakannya itu? Sementara itu pintu pagar sudah dibuka, Pengemudi truk kembali ke belakang setir, lalu mengemudikan kendaraannya masuk ke pekarangan. Setelah melewati pintu pagar, ia turun lagi lalu menutupnya kembali dengan seksama. Nah - kini George sudah terkurung dalam sarang lawan, sedang Julian tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu. Apakah yang akan terjadi selanjutnya? Dengan perasaan tegang, Julian mengintip dari belakang semak. George tidak menunggu truk berjalan lagi. Sementara pengemudi itu truk untuk menutup pintu pagar kembali, cepat-cepat anak itu meloncat turun lalu bersembunyi di balik sebuah tonggak batu di pinggir jalan yang menuju ke rumah. George menghembuskan napas lega. Rencananya berhasil! Sekarang tinggal menyelidiki, apakah Profesor Lancelot benar ada di situ atau tidak! Truk berjalan lagi, menghampiri rumah. George masih belum tahu, apa yang harus dilakukan selanjutnya. Pertama-tama ia harus berusaha mendekati rumah. Itu sudah jelas. Tapi selanjutnya.... Ia memutuskan lebih baik menunggu saja dulu. Ia mengandalkan kemujuran nasib. Sesaat terdapat kesan bahwa segala-galanya berjalan dengan beres baginya. George menyelinap maju, dan tonggak yang satu ke tonggak berikutnya. Dengan jalan begitu ia berhasil menghampiri rumah sampai dekat sekali. Ia masih sempat mendengar pengemudi tadi berbicara dengan suara lantang. "Karena Anda, aku sekarang terpaksa mengadakan perjalanan yang berbahaya ke Lausanne. Hanya untuk membeli barang-barang yang menurut Anda diperlukan untuk membuat model roket Anda! Ya, ya - aku tahu apa sebenarnya mau Anda. Anda mengulur-ulur waktu, padahal sebenarnya Anda sama sekali tidak mau bekerja sama. Tapi Anda salah menaksir kepala kami. Ia pasti akan berhasil memaksa Anda!" George tencengang. Rupanya orang itu tidak berbicara pada dirinya sendiri, seperti sangkaannya semula. Tapi di manakah orang dengan siapa pengemudi truk itu berbicara? Aneh - George sama sekali tidak mendengar suara orang menjawab. Jangan-jangan orang itu Profesor Lancelot! Pengemudi truk itu berhenti berbicara. Sekarang ia menurunkan peti-peti dari bak belakang. lalu dibawanya masuk ke dalam rumah. Di tengah keremangan senja, George menyelinap semakin maju menghampiri rumah. Setelah beberapa meter ia berhenti, lalu memandang berkeliling. Ia tidak melihat apa-apa di tempat itu, kecuali sebuah sumur tua. Sumur itu langsung menarik perhatiannya. Dilihatnya di sisi bibir sumur ada lubang. Lubang itu kecil, hampir-hampir tidak kelihatan. Tapi mata George yang tajam langsung melihatnya. Apa gunanya lubang itu di situ? Tiba-tiba George mengerti. Rupanya sumur itu dipakai sebagai semacam tempat kurungan. Dengan bantuan alat-alat khusus orang yang di luar dapat berbicara dengan tahanan yang ada di situ. Sedang tahanan itu sendiri tidak terdengar suaranya di luar.,kecuali jika alat teknik yang dipakai memang dihubungkan agar suaranya dapat terdengar. Dengan demikian komplotan penjahat merasa diri mereka aman. Apabila polisi menggeledah tempat itu, mereka takkan bisa menemukan apa-apa. Tahanan yang terkurung dalam sumur tidak mungkin bisa mereka temukan! George memutuskan untuk segera bertindak. Tahanan malang itu harus cepat-cepat ditolong. Sambil mengendap-endap dihampirinya sumur tua itu. "Profesor Lancelot," bisiknya. "Andakah itu? Aku George, anak rekan Anda, Profesor Kirrin. Kalau Anda bisa mendengarku, menjawablah. Mungkin bisa kudengar di luar!" Bukan main gembiranya anak itu ketika mendengar suara dari dalam sumur. Samar-samar, tapi cukup jelas! "Ya! Ya, betul - aku terkurung dalam sumur ini. Saat ini aku menjerit sekuat-kuatnya! Kaudengar atau tidak?" "Samar-samar, tapi masih bisa dimengerti," jawab George sambil berbisik. "Tabahkan hati, Profesor! Aku akan membebaskan Anda sekarang!" Ucapannya itu ternyata terlalu terburu-buru. Ia berusaha membuka tutup sumur, tapi sia-sia - tutup itu sedikit pun tak terangkat. Dan tepat saat itu bencana menimpa dirinya! Tahu-tahu bahunya dicengkeram dari belakang. Didengarnya orang yang mencengkeramnya berbicara dengan nada mengejek. "Eh - ini kan anak yang tadi ikut denganku!" Tubuh George diputar, sehingga menghadap orang itu. Ternyata dia laki-laki berambut pirang! Agen rahasia itu menekan sebuah tombol yang tersembunyi letaknya di antara dua batu sumur palsu itu. Tutup yang berat tergeser dengan pelan. George melihat lubang sumur yang dalam. Di sisi sebelah dalam nampak tangga yang terbuat dan besi. "Apa boleh buat, Anak muda," kata agen rahasia itu dengan suara serius, "kau terlalu ingin tahu - dan itu harus berat hukumannya. Ayo masuk ke dalam sumur!" George sama sekali tidak beranjak dan tempatnya. Agen rahasia jengkel melihat sikapnya itu, lalu berusaha menjunjung anak itu. Tapi saat berikutnya laki-laki itu menjerit. Pegangannya terlepas. Rupanya Timrny menyambar betisnya. Julian tadi begitu gelisah karena tahu-tahu George sudah bertindak sendiri. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan hal yang tadi dikatakan berbahaya: ia memanjat pagar kawat! Sedang Timmy berhasil masuk ke pekarangan dengan jalan menyusup lewat lubang di pagar. Dengan cepat ia sudah mengetahui di mana tuannya berada. Ia mencium bau George! Anjing setia itu langsung beraksi. Kalau perlu ia mau mempertaruhkan nyawa untuk membela George. "Anjing jahat!" umpat laki-laki berambut pirang ketika ia melihat siapa yang menggigit betisnya. George memanfaatkan kesempatan itu untuk membungkukkan tubuhnya ke dalam sumur, lalu berteriak ke bawah, "Cepat, Profesor! Naiklah secepat mungkin ke atas. Tutup sumur sudah terbuka!" Profesor tidak menunggu sampai dipanggil dua kali. Dengan susah payah ia memanjat tangga. Sesampai di atas dilihatnya adegan yang ramai. Penawannya yang berambut pirang sedang bergumul melawan Julian dan George, yang dibantu oleh Timmy. Mereka berguling-guling di rumput. Profesor Lancelot langsung menyadari situasi gawat itu. Ia bergegas hendak membantu para penyelamatnya. Tapi terlambat. Laki-laki yang berambut pirang berhasil mengeluarkan peluit dari kantong lalu meniupnya. Terdengarlah bunyi peluit yang melengking tinggi! Saat itu juga nampak beberapa orang pembantu agen rahasia itu berhamburan dari dalam rumah. George, Julian dan Pak Profesor menyadari bahwa tak ada gunanya lagi memberi perlawanan. Lawan terlalu banyak! Seorang dari penjahat yang baru muncul mencengkeram kalung leher Timmy dengan keras, sehingga anjing itu sulit bernapas. "Anjing sialan." bentak laki-laki yang berambut pirang. "Sekarang habis riwayatmu!" Salah seorang pembantu membidikkan pistol ke arah Timmy. Melihat bahaya itu George langsung meloncat maju dan menutupi Timmy dengan tubuhnya. "Awas, kalau berani menembak anjingku!" katanya dengan berani, "Ia seribu kali lebih berharga daripada kau ! "Ayo minggir!" kata !aki-laki yang memegang pistol. "Kalau tidak ...." Penjahat itu tidak bisa mengakhiri ancamannya, karena tahu-tahu terdengar suara lantang yang datang dari tempat gelap. "Angkat tangan! Angkat tangan, kataku! Buang pistol itu! Profesor Lancelot- bawa anak-anak itu ke pinggir sedikit!" Pak Profesor menarik George dan Julian ke semak yang ada di dekat sumur. Timmy menyusul mereka. Saat berikutnya seregu petugas polisi muncul dan tempat gelap. Mereka menyalakan senter. George berseru dengan gembira. Karena tempat itu sudah diterangi sinar senter, ia kini bisa melihat ayahnya datang menghampiri bersama Dick dan Anne. "Ayah!" seru George- "Aduh, untung kalian datang tepat pada waktunya!" "Kami tadi terpaksa mencari-cari dulu dalam hutan, sebelum berhasil menemukan rumah ini. Kau ini selalu ada-ada saja, George - mencari-cari bahaya," tukas Paman Quentin dengan nada kesal. Tapi Profesor Lancelot cepat-cepat menyela. "Jangan marah, Profesor Kirrin," katanya. "Berkat putri Anda, saya berhasil diselamatkan - begitu pula hasil penemuan saya yang sangat berharga. Dan sekaligus polisi berhasil membekuk kawanan mata-mata yang sangat berbahaya!" Polisi menggiring laki-laki berambut pirang beserta kawan-kawannya untuk diangkut ke penjara. Ketika méreka lewat dekat tempat George berdiri, dilihatnya bahwa salah satu dari orang-orang itu Malik, yang mendatangi Rudi Hermes di tempat perjumpaan rahasia mereka di tepi danau. "Sayang Rudi tidak ikut dibekuk," gumam Julian sambil memperhatikan para penjahat yang dibawa pergi. "Jangan khawatir," kata Dick sarnbil tertawa puas. "la pun sudah dijemput - dari dalam lemari sapu!" ‘Apa maksudmu?" tanya abangnya heran. "Nantilah kujelaskan!" Ketika Lima Sekawan kembali ke perkemahan, mereka disambut dengan meriah sekali. Apalagi Timmy - semua ikut merasa bangga akan anjing yang tabah dan setia itu. Api unggun dinyalakan untuk menghormati kepulangan kelima pahlawan itu. Sementara api berkobar terang, George berpaling pada Julian, Dick dan Anne. "Liburan kita di sini takkan mungkin kulupakan," katanya. "Kurasa aku pasti kecewa, jika petualangan kita menaklukkan agen rahasia tidak terjadi!" Ketiga saudaranya mengangguk, tanda setuju. TAMAT Edit by : zheraf http://www.zheraf.net